Minggu, 19 Desember 2010

Pengetahuan, Teknologi, dan Seni

< 1 >

PENDAHULUAN

Pada hakekatnya pengetahuan atau knowledge merupakan seganap apa yang kita ketahuai tentang suatu objek tertentu termasuk kedalamnya adalah ilmu,sehingga ilmu dikatakan merupakan bagian dari pengetahuan yang diketahui oleh manusia.Bahkan seorang anak kecilpun telah mempunyai berbagai pengetahuan sesuai dengan tahap pertumbuhan dan tingkat kecerdasan otaknya.Seandainy seorang berkata kepada kita bahwa dia tahu bagaimana caranya bermain gitar,maka seorang yang lainnya mungkin bertanya,apakah pengetahuan anda itu merupakan ilmu ?.Tentu saja dengan mu8dak kita menjawab bahwa pengetahuan kita itu bukanlah ilmu,melainkan berkaitan dengan seni yang ada kaitannyadengan aspek psiko motorik dalam diri manusai.Oleh karena itulah pengetahuan memilki pengertian dan batasan-batasan tersendiri secara spesifik yang berbeda dari seni dan teknologi.

Pengetahuan merupakan khasanah mental yang secara langsung atau tidak langsung turut memperkaya kehidupan kita.Sukar untuk dibayangkan bagaimana kehidupan manusia jika seandainya pengetahuan itu tidak ada,oleh karena itu pengetahuan merupakan sumber jawaban bagi berbagai jawaban yang muncul dalam kehidupan.

Manusia adalah stu-satunya makhluk yang dapat mengembangkan pengetahuan itu secara sungguh-sungguh.Binatang juga mempunyai pengetahuan namun pengetahuan itu terbatas untuk kelangsungan hidupnya(survival).Seekor kera tahu mana buah jambu yang enak,seekor tikus mengetahui mana jenis tikus yang ganas.Tetapi dalam hal ini berbeda dengan tujuan pendidikan yang diperoleh binatang dalam hidupnya, jika dibandingkan dengan manusia yang mengembangkan pengetahuannya untuk mengatasi kebutuhan serta kelangsungan hidupnya.Inilah yang menyebabkan manusia mengembangkan pengetahuannya dan pengetahuan ini pulalah yang mendorong manusia untuk menjadi makhluk yang bersifat khas di muka bumi ini.

Pengetahuan menusia mampu dikembangkan disebabkan dua hal utama yakni: Pertama,manusia mempunyai bahasa yang mampu mengomunisasikan informasi dan jalan pikiran yang melatar belakangi informasi tersebut.Kedua,adalah kemampuan berfikir menurut suatu alur kerangka berfikir tertentu,yang secara garis besar cara berfikir seperti itu disebut penalaran (pemikiran logis dan analisis).






< 2 >

PEMBAHASAN

Pencarian pengetahuan dengan cara ilmiah dilakukan berdasarkan pemikiran rasional, pengalaman empiris (fakta) maupun referensi pengalaman sebelumnya. Pengetahuan yang diperoleh dengan menggunakan cara atau metode ilmiah (Scientific Method) disebut ilmu.

A.Pengertian Ilmu Pengetahuan

Pengetahuan ilmiah atau ilmu pengetahuan, menurut para ahli mempunyai pengertian sebagai berikut :
1. Ralph Ross and Ernest Van Den Haag dalam bukunya ‘The Fabric of Society’ menulis bahwa science is empirical, rasional, general and cumulative and it is all four at once. Artinya ilmu memiliki kriteria empiris, rasional, umum, kumulatif dan keempatnya serentak terpenuhi.
2. Ashley Montagu dalam bukunya ‘ The Cultured Man’ menyebutkan bahwa : Science is a systematized knowledge services from observation, study and experimentation carried on order to determine the nature of principles of whatbeing studied. Artinya ilmu pengetahuan ialah pengetahuan yang disusun dalam satu system yang berasal dari pengalaman, studi dan percobaan untuk menentukan hakekat prinsip tentang hak yang sedang dipelajari.
3. V. Afayanev dalam bukunya ‘Marxist Philosophy’ menyatakan bahwa : Science is the systems of man’s knowledge on nature, society, and thought. It reflect the world in concepts, categories and laws, the correctness and truth of wich are verified by practical experience. Artinya : ilmu pengetahuan adalah pengetahuan manusia tentang alam, masyarakat, dan pikiran. Oa mencerminkan alam dalam konsep, kategori-kategori dan hokum-hukum yang ketepatan dan kebenarannya dapat diuji dengan pengalaman praktis.
4. Helmy A. Kotto, menyatakan bahwa ilmu pengetahuan adalah kumpulan pengetahuan yang tersusun secara sistematik, konsisten dan berkesinambungan serta telah teruji kebenarannya dan dapat diandalkan kegunaannya bagi manusia.
5. Dadang Ahmad, menyebutkan bahwa ilmu pengetahuan adalah suatu proses pembentukan (konstruksi) yang terus-menerus sampai dapat menjelaskan fenomena dan keberadaan alam itu sendiri.


< 3 >
B.Fungsi Ilmu Pengetahuan

Fungsi ilmu pengetahuan diantaranya adalah :
1. Menjelaskan (Explaining, Discribing)
Fungsi menjelaskan mempunyai empat bentuk yaitu :
a) Deduktif : suatu ilmu harus dapat menjelaskan sesuatu berdasarkan premis pangkal ilir yang telah ditetapkan sebelumnya.
b) Probabilistik : ilmu dapat menjelaskan berdasarkan pola pikir induktif dari sejumlah kasus yang jelas, sehingga hanya dapat memberi kepastian (tidak mutlak) yang bersifat kemungkinan besar atau hampir pasti.
c) Fungsional : ilmu dapat menjelaskan letak suatu komponen dalam suatu sistem secara keseluruhan.
d) Genetik : ilmu dapat menjelaskan suatu faktor berdasarkan gejala-gejala yang sudah terjadi sebelumnya.
2. Meramalkan (Prediction)
Ilmu harus dapat menjelaskan faktor sebab akibat suatu peristiwa atau kejadian, misalnya apa yang akan terjadi jika harga naik.
3. Mengendalikan (Controlling)
Ilmu harus dapat mengendalikan gejala alam berdasarkan suatu teori, misalnya bagaimana mengendalikan kurs rupiah dan harga.
C.Kriteria Ilmu Pengetahuan
Tidak semua pengetahuan dapat disebut ilmu, merupakan ilmu pengetahuan apabila cara mendapatkannya memenuhi syarat yaitu :
1. Logis atau masuk akal
Sesuai dengan kaidah ilmu pengetahuan yang diakui kebenarannya.
2. Objektif
Pengetahuan harus sesuai dengan obyek, didukung oleh fakta empiris.
3. Metodik
Pengetahuan diperoleh dengan cara-cara tertentu yang teratur, dirancang, diamati dan terkontrol.
4. Sistematik
Berarti bahwa pengetahuan tersebut disusun dalam suatu sistem yang satu dengan yang lainnya saling berkaitan dan saling menjelaskan sehingga merupakan satu kesatuan yang utuh.
5. Berlaku Umum atau Universal
Pengetahuan berlaku untuk siapa saja dan dimana saja yaitu dengan cara eksperimentasi yang sama, akan diperoleh hasil yang sama atau konsisten.
< 4 >

6. Kumulatif berkembang dan tentatif
Khasanah ilmu pengetahuan selalu bertambah dengan hadirnya ilmu pengetahuan baru. Ilmu pengetahuan yang terbukti salah satu harus diganti dengan pengetahuan yang benar (tentatif).


a. Tinjauan Konstruksi Ilmu Pengetahuan
Di antara berbagai prosedur pengembangan ilmu pengetahuan, Soeparmo (1984) menyatakan bahwa sering kali digunakan proses induktif-deduktif dalam suatu hubungan yang saling melengkapi dan terpadu. Proses induksi dimulai dari fakta-fakta yang teramati, lalu dari pengamatan ini ditarik suatu kesimpulan yang logik, matematis dan intuitif sehingga terbentuk kerangka konsep (verbal). Bilamana kerangka konsep telah berkembang menjadi suatu item proporsisi (himpunan asumsi) tersusunlah suatu teori. Bentuk prinsip-prinsip tersebut termasuk kata-kata dan rumus matematik, yang terorganisasi menurut pola-pola logika deduktif dan aturan-aturan sintaksis.
Kemajuan ilmu pengetahuan melibatkan kombinasi dari :
1. Perumusan hipotesis atau ‘conjecture’ secara intuitif, komprehensif, dan referensial.
2. Eksperimentasi seperangkat peralatan dan fasilitas yang memungkinkan gejala yang akan ditinjau (dimodelkan) dapat berlangsung.
3. Interpretasi melalui kompilasi, seleksi dan memproses data sesuai dengan keperluan metode inferensi yang digunakan dengan melibatkan konsep, hokum dan teori yang tersedia.
Proses penerimaan sebuah konsep baru menuju teori baru (proposisi) secara umum dapat mengikuti tahapan berikut secara dinamis. Tahapan tersebut adalah minimal dimulai dari melakukan prediksi, konfirmasi, menyusun prinsip, hokum, melakukan hipotesis, sehingga dengan menggabungkan tahapan perlakuan tersebut kita dapat menarik kesimpulan. Kesimpulan tersebut berdasarkan fakta terprediksi dan observasi atau penelitian untuk melahirkan fakta terobservasi, sehingga akan menghasilkan fakta baru yang akan dirumuskan dalam bentuk kerangka konsep teori baru. Metode penemuan teori baru tersebut biasanya juga menerapkan prinsip induksi atau deduksi atau bahkan penggabungan kedua konsep tersebut, tergantung kondisi dan situasi bagaimana konsep teori baru tersebut, oleh karena setiap cabang ilmu kontennya berbeda-beda.
< 5 >

Konstruksi/pembentukan ilmu pengetahuan melalui langkah-langkah metode ilmiah (Scientific Method) yang dijabarkan dalam tahapan berikut :
1. Perumusan masalah
Masalah adalah topik atau obyek yang diteliti dengan batasan yang jelas serta dapat diidentifikasi faktor-faktor yang terkait.
2. Penyusunan hipotesis
Hipotesis merupakan argumentasi tentang kemungkinan jawaban sementara tentang masalah yang ditetapkan, disusun berdasarkan pengetahuan atau teori yang ada dan harus diuji kebenarannya dengan observasi atau ekpserimentasi.
3. Pengujian hipotesis
Pengujian hipotesis merupakan usaha pengumpulan fakta yang relevan dengan hipotesis dan kemudian diuji apakah fakta tersebut mendukung hipotesis yang diajukan.
4. Penarikan kesimpulan
Kesimpulan diambil berdasarkan hasil analisis data untuk melihat apakah hipotesis yang diajukan diterima atau tidak. Hipotesis yang diterima merupakan pengetahuan yang kebenarannya teruji secara ilmiah dan merupakan bagian dari ilmu pengetahuan.

b. Unsur-unsur Pembentuk Ilmu Pengetahuan
Keberadaan ilmu pengetahuan terbentuk dari hokum secara khusus dan teori yang lebih general. Baik dalam rumusan hukum maupun teori melibatkan unsur konsep yang merupakan konstruksi mental dalam menginterpretasi hasil observasi. Konsep merupakan simbol-simbol yang membantu untuk mengorganisasikan pengalaman. Hukum adalah korelasi antara dua konsep atau yang lebih dekat kaitannya dengan hal-hal yang terobservasi. Hukum mencerminkan urutan sistimatik suatu pengalaman dan berfungsi untuk memberikan pengalaman menurut pola yang beraturan dan dapat dinyatakan dalam bentuk grafik, persamaan atau ekspresi verbal tentang interrelasi antara konsep yang satu dengan yang lainnya. Sedangkan teori adalah kerangka konsepsi yang terorganisasi menjadi suatu generalisasi yang dapat dijabarkan menjadi hukum-hukum. Dibandingkan dengan hokum, teori memiliki generalisasi yang jauh lebih luas dan konprehensif.



< 6 >

Konsep-konsep yang digunakan dalam teori adalah konstruksi mental yang disusun dari hasil penangkapan (encoding) pertanda alam dan sosial melalui metode survey atau eksperimen. Konsep-konsep ini mempunyai ciri-
ciri yang berbeda dari bahan mentahnya (data), dan sudah siap untuk masuk ke fase penjelasan tentang fenomena yang sedang ditinjau. Penjelasan tersebut bukan sekedar daftar konsep yang berhasil dirumuskan tetapi merupakan kaitan langsung antara dua atau lebih konsep yang memiliki tingkat keterkaitan. Kualitas teori yang dirumuskan oleh seseorang, kemudian diuji/dievaluasi wilayah keberlakuannya dan kemampuan peramalannya.
Kriteria yang digunakan untuk mengevaluasi teori diantaranya adalah : kesesuaiannya dengan observasi, konsistensi internal hubungan konsep-konsepnya, dan sifat konprehensif cakupannya. Kriteria pertama adalah hubungannya dengan data yang dapat direproduksi dalam masyarakat keilmuan, atau kesesuaiannya dengan pengalaman empiris. Kriteria kedua menyangkut konsistensi dan konherensi. Kedua syarat ini mengkonfirmasikan ketidakhadiran suatu kontradiksi diantara konsep-konsep yang menyusun teori. Jika ini dipenuhi maka teori tersebut memiliki validitas seperti yang telah diperlihatkan oleh teori-teori lain yang telah lebih dulu lahir. Hasil lain dari pemeriksaan kedua kriteria tersebut adalah tercapainya simplitas (kebersahajaan), suatu teori yang dicirikan oleh jumlah minimal asumsi yang dijadikan dasar penyusunan. Kelompok kriteri ketiga berkenan dengan sifat komprehensif suatu teori, termasuk generalitasnya, atau kemampuan untuk menunjukkan kepaduan yang melatarbelakangi fenomena yang beragam. Kebenaran suatu teori adalah tujuan ilmu pengetahuan, tetapi dalam prosesnya yang dipertimbangkan adalah derajat kesesuaiannya (adekuasi) dengan data yang diketahui dan sifat koherensi dan komprehensifnya dibandingkan teori-teori lain yang tersedia. Semua rumusan teori bersifat tentatif dan tidak kebal untuk direvisi, sebagaimana tujuan utama ilmu pengetahuan adalah meningkatkan pemahaman terus-menerus menuju kesempurnaan penjelasan intelektual terhadap fenomena alam dan sosial yang secara alamiah menurut sunnatullah (hokum Tuhan), tidak akan habis untuk dikaji dan dipelajari karena kekuasaan-Nya.





< 7 >
D.Sikap Ilmiah
Berdasarkan pada syarat, kriteria, langkah operasional dan unsure pembentukan ilmu pengetahuan, maka semua aspek tersebut hendaknya diperhatikan secara menyeluruh agar dapat menuntun pembentukan karakter seorang ilmuan yang umum diharapkan mempunyai sikap ilmiah, antara lain :
1. Jujur
Ilmuan wajib melaporkan hasil pengamatannya secara obyektif dan jujur sehingga bila hasil penelitiannya tersebut diuji kembali oleh peneliti lain akan memberikan hasil yang sama.
2. Terbuka
Seorang ilmuan mempunyai pandangan yang luas, terbuka, jauh dari praduga dan menghargai pendapat orang lain, meskipun untuk menerimanya harus melakukan pengujian terlebih dahulu.
3. Toleran
Seorang ilmuan tidak akan merasa dirinya paling hebat, bersedia belajar dari orang lain atau membandingkan pendapatnya dengan yang lain serta tidak pernah memaksakan pendapatnya pada orang lain. Oleh karenanya tidaklah disebut ilmuan orang yang berperilaku sombong walaupun telah menemukan karya ilmu pengetahuan, malah harus semakin rendah diri dan semakin memahami kemahakuasaan Sang Pencipta serta semakin memahami kelemahan dan keterbatasan dirinya.
4. Skeptis
Dalam mencari kebenaran, seorang ilmuan akan bersikap hati-hati, meragukan sesuatu dan skeptis tetapi tetap bersikap kritis sehingga akan menyelidiki atau memferifikasi atau bahkan melakukan observasi (penelitian) terlebih dahulu bukti-bukti (informasi) yang mendasari suatu kesimpulan, keputusan atau pemecahan masalah.
5. Optimis
Seorang ilmuan tidak akan mengatakan bahwa terdapat sesuatu yang tidak dapat dikerjakan sebelum memikirkan dan mencoba mengerjakannya terlebih dahulu.






< 8 >
6. Pemberani
Sifat ilmuan yang selalu mencari kebenaran, maka akan berani melawan ketidakbenaran, kepura-puraan yang menghambat kemajuan, meskipun harus merugikan dirinya sendiri. Sifat pemberani ini dicontohkan oleh Copernicus dan Galileo mengenai keyakinan tentang heliosentrisnya yang sangat bertentangan dengan kepercayaan dan penguasa saat itu yang mempercayai faham geosentris.
7. Kreatif dan Inovatif
Selalu ingin mendapatkan, menciptakan, memvariasikan sesuatu yang baru terutama guna mendapatkan nilai tambah bagi dirinya. Setiap saat pola hidupnya selalu dinamis, tidak passif sehingga berkreasi, berkarya, malakukan inovasi-inovasi baru dan melahirkan konsep-konsep ilmu pengetahuan terbaru sudah menjadi sikap dan prilaku hidupnya.
8. Bertanggung Jawab
Seorang ilmuan harus memiliki rasa tanggung jawab baik secara etik maupun moral oleh karena ilmu yang dihasilkannya harus diarahkan agar sejalan dengan fungsinya sebagai seorang ilmuan atau sebagai khalifah di muka bumi. Manusia dengan segala kelebihannya dibandingkan dengan mahluk hidup lain, telah diberi amanah mengelola dan memelihara kelangsungan hidup alam semesta ini serta mengembangkannya ke arah yang lebih baik.













< 9 >

SIMPULAN

Dalam kehidupan umat manusia di muka bumu,ilmu pengetahuan sangat besar paranannya.Dengan ilmu pengetahuan kita dapat menjadikan hidip kita lebih indah serta terjamin kelangsungannya,sehingga tanpa ilmu pengetahuan maka hidup kita tidak akan bermakna.Bayangkan ketika lilmu pengetahuan tidak mampu menumukan bola lampu serta energi,maka hidup kita akan selalu gelap sehingga susah untuk beraktifitas di malam hari.

Dalam pengembangan ilmu pengetahuan,maka yang mampu melakukan semua itu hanyalah makhluk yang diciptakan sebagai khalifah(pemimpin atau pengatur) yakni manusia.Manusia adalah makhluk yang sempurna jika dibandingkan dengan makhluk lainnya.Dengan kelebihannya itu pulalah,manusia diberi amanah mengololah dan memelihara kelangsunga hidup alam semesta ini serta bertanggung jawab mengembangkannya kearah yang lebih baik,bukan sebaliknya sehingga terjadi keseimbangan hidup diantara semau makhluk di muka bumi ini.



SARAN

Kami sangat menyadari,makalah ini jauh dari kesempurnaan serta terdapat banyak kesalahan-kesalahan.Sehingga kami memohon maaf yang sebesar-besarnya serta sangat mengharapkan sumbang saran serta kritikan dari berbagai pihak,sehingga pembuatan makalah berikutnya dapat lebih baik yang semuanya itu merujuk kearah pengembangan ilmu pengetahuan.

sinopsis Sitti Nurbaya

Sinopsi st nurbaya

Dengan maksud yang licik Datuk Maringgih meminjamkan uangnya pada Baginda Sulaiman. Berkat pinjangan uang dari Datuk Maringgih tersebut, usaha dagang Baginda maju pesat. Namun sayang, rupanya Datuk Maringgih menjadi iri hati melihat kemajuan dagang yang dicapai oleh Baginda Sulaiman ini, maka dengan seluruh orang suruhanya, yaitu pendekar lima, pendekar empat serta pendekar tiga, serta yanglainnya Datuk Maringgih memerintahkan untuk membakar toko Baginda Sulaiman. Dan toko Bagindapun habis terbakar. Akibatnya Baginda Sulaiman jauh bangrut dan sekligus dengan hutang yang menunpuk pada Datuk Maringgih.
Di tengah-tengah musibah tersebut, Datuk Maringgih menagih hutangnya kepadanya. Jlas, tentu saja Baginda Sulaiman tidak mempu membayarnya. Hal ini memang sengaja oelh datuk Maringgih, sebab dia sudah tahu pasti bahwa Baginda Sulaiman tidak mampu membayarnya. Dengan alasan hutang tersebut, Datuk Maringgih langsung menawarkan bagaimana kalau Siti Nurbaya, Putri Baginda Sulaiman dijadikan istri Datuk Maringgih. Kalau tawaran Datuk Maringgih ini diterima, maka hutangnya lunas. Dengan terpaksa dan berat hati, akhirnya Siti Nurbaya diserahkan untuk menadi istri Datuk Maringgih.
Waktu itu Samsulbahri, kekasih Siti Nurbaya sedang menuntut ilmu di Jakarta. Namun begitu, Samsul Bahri tahu bahwa kekasihnya diperistri oleh orang lain. Hal tersebut dia ketahui dari surat yang dikirim oleh Siti Nurbaya kepadanya. Dia sangat terpukul oleh kenyataan itu. Cintanya yang menggebu-gebu padanya kandas sudah. Dan begitupun dengan Siti Nurbaya sendiri, hatinya pun begitu hancur pula, kasihnya yang begitu dalam pada Samsulbahri kandas sudah akibat petaka yangmenimpa keluarganya.
Tidak lama kemudian, ayah Siti Nurbaya jatuh sakit karena derita yangmenimpanya begitu beruntun. Dan, kebetulan itu Samsulbahri sedang berlibur, sehingga dia punya waktu untuk mengunjungi keluarganya di Padang. Di samping kepulangnya kekampung pada waktu liburan karena kangennya pada keluarga, namun sebenarnya dia juga sekaligus hendak mengunjungi Siti Nurbaya yang sangat dia rindukan.
Ketika Samsulbahri dan Siti Nurbaya sedang duduk di bawah pohon, tiba-tiba muncul Datuk Maringgih di depan mereka. Datuk Maringgih begitu marah melihat mereka berdua yang sedang duduk bersenda gurau itu, sehingga Datuk maringgih berusaha menganiaya Siti Nurbaya. Samsulbahri tidak mau membiarkan kekasihnya dianiaya, maka Datuk Maringgih dia pukul hingga terjerembab jatuh ketanah. Karena saking kaget dan takut, Siti Nurbaya berteriak-teriak keras hingga terdengar oleh ayahnya di rumah yang sedang sakit keras. Mendengar teriakan anak yang sangat dicinatianya itu, dia berusaha bangun, namun karena dia tidak kuat, ayah Siti Nurbaya kemudian jatuh terjerembab di lantai. Dan rupanya itu juga nyawa Baginda Sulaiman langsung melayang.
Karena kejadian itu, Siti Nurbaya oleh datuk Maringgih diusir, karena dianggap telah mencoreng nama baik keluarganya dan adat istiadat. Siti Nurbaya kembali ke kampunyanya danm tinggal bersama bibinya. Sementara Samsulbahri yang ada di Jakarta hatinya hancur dan penuh dendam kepada Datuk Maringgih yang telah merebut kekasihnya. Siti Nurbaya menyusul kekasihnya ke Jakarta, naumun di tengah perjalanan dia hampir meninggal dunia, ia terjatuh kelaut karena ada seseorang yang mendorongnya. Tetapi Siti Nurbaya diselamatkan oleh seseorang yang telah memegang bajunya hingga dia tidak jadi jatuh ke laut.
Rupanya, walaupun dia selamat dari marabahaya tersebut, tetapi marabahaya sberikutnye menunggunya di daratan. Setibanya di Jakarta, Siti Nurbaya ditangkap polisi, karena surat telegram Datuk Maringgih yang memfitnah Siti Nurbaya bahwa dia ke Jakarta telah membawa lari emasnya atau hartanya.
Samsulbahri berusaha keras meolong kekasihnya itu agar pihak pemerintah mengadili Siti Nirbaya di Jakarta saja, bukan di Padang seperti permintaan Datuk Maringgih. Namun usahanya sia-sia, pengadilan tetap akan dilaksanakan di Padang. Namun karena tidak terbukti Siti Nurbaya bersalah akhirnya dia bebas.
Beberapa waktu kemudian. Samsulbahri yang sudah naik pangkat menjadi letnan dikirim oleh pemerintah ke Padang untuk membrantas para pengacau yang ada di daerah padang. Para pengacau itu rupanya salah satunya adalah Datuk Maringgih, maka terjadilah pertempuran sengit antara orang-orang Letnan Mas (gelar Samsulbahri) dengan orang-orang Datuk Maringgih. Letnan Mas berduel dengan Datuk Maringgih. Datuk Maringgih dihujani peluru oleh Lentan Mas, namun sebelum itu datuk Maringgih telah sempat melukai lentan Mas dengan pedangnya. Datuk Maringgih meninggal ditempat itu juga, sedangkan letan mas dirawat di rumah sakit.
Sewaktu di rumah sakit, sebelum dia meninggal dunia, dia minta agar dipertemukan dengan ayahnya untuk minta maaf atas segala kesalahannya. Ayah Samsulbahri juga sangat menyesal telah mengata-ngatai dia tempo dulu, yaitu ketika kejadian Samsulbahri memukul Datuk Maringgih dan mengacau keluarga orang yang sangat melanggar adat istiadat dan memalukan itu. Setelah berhasil betemu dengan ayahnya, Samsulbahripun meninggal dunia. Namun, sebelum meninggal dia minta kepada orangtuanya agar nanti di kuburkan di Gunung Padang dekat kekasihnya Siti Nurbaya. Perminataan itu dikabulkan oleh ayahnya, dia dikuburkan di Gunung Padang dekat dengan kuburan kekasihnya Siti Nurbaya. Dan di situlah kedua kekasih ini bertemu terakhir dan bersama untuk selama-lamanya.

KETAKSAAN (AMBIGUITAS)

Ketaksaan (ambiguitas)
Ketaksaan (istilah-lain ambigu,ambigualitas, dan keambiguan ) ditafsirkan sebagai memiliki lebih dari satu makna akan sebuah konstruksi sintaksis. Ketaksaan dapat ditimbulkan dalam berbagai variasi tulisan atau tuturan .sehubungan dengan ketaksaan ini Kompson (1977) yang dikutip oleh Ullman (1976) menyebutkan tiga bentuk utama dari ketaksaan, ketiganya berhubungan dengan fonetik, gramatikal, dan leksikal. Ketaksaan ini muncul bila kita sebagai pendengar atau pembaca sulit untuk menangkap pengertian yang kita ucapkan atau yang kita dengar.
Ketaksaan atau ambiguitas merupakan bagian dari makna bahasa yang terdapat dalam sebuah tuturan atau tulisan. Ketaksaan atau ambiguitas dapat terjadi pada semua tataran bahasa, baik kata, frase, klausa, kalimat, maupun sebuah wacana. Ketaksaan atau ambiguitas sering digunakan oleh para penutur dengan maksud-maksud tertentu, yang kadang-kadang sengaja dia buat untuk menyembunyikan maksud tuturannya yang sebenarnya, ini biasanya untuk menyindir seseorang namun dengan perkataan yang tidak dengan sesungguhnya.
Secara gampang ketaksaan itu dapat diartikan atau ditafsirkan sebagai memiliki lebih dari satu makna akan sebuah kontruksi sintaksis. Umpamanya frasa buku sejarah baru dapat ditafsirkan bermakna :
1. Buku baru mngenai sejarah
2. Buku mengenai sejarah baru.
Contoh lain dalam kalimat “Minggu lalu kami bertemu Paus” dapat diartikan :
1. Minggu lalu kami bertemu dengan pemimpin agama Katolik yang berdomisili di Roma
2. Minggu lalu kami bertemu sejenis ikan besar yang disebut Paus.
Kalau dikatakan bahwa ketaksaan ini bukan masalah leksikal, melainkan masalah sintaktik adalah karena informasi yang ada dalam satuan sintaksis itu tidak lengkap. Adaikata kalimat “Minggu lalu kami bertemu Paus” itu diberi informasi tambahan misalnya menjadi “ Minggu lalu ketika berkunjung ke Roma kami bertemu Paus”, maka ketaksaan itu tidak ada lagi, sebab tambahan “ketika berkunjung ke Roma” menghilangkan ketaksaan tersebut. Kalimat ini menjadi jelas, bahwa kata Paus mengacu pada Pemimpin tertinggi agama Katolik itu. Lalu, kalau diberi tambahan, Misalnya, kalimat itu menjadi “ Minggu lalu ketika berlayar di laut lepas itu kami bertemu Paus”, juga menjadi jelas bahwayang ditemukan adalah sejenis ikan besar yang bernama Paus. Jadi, boleh dikatakan yang disebut ketaksaan leksikal terjadi karena kalimat yang memuat kata itu memuat informasi yang kurang lengkap. Kebetulan juga dalam kasus ini ada dua buah kata Paus dalam bahasa Indonesia yang berhomonim.
Contoh lain, kalimat-kalimat berikut juga memunyai informasi yang tidak lengkap :
1. Hak saya mana?
2. Servisnya memang baik.
3. Saya minta kopinya saja.
4. Dia datang bawa pacar
5. Dilarang mengambil foto di taman.
Penyebab lain dari kemungkinan terjadinya kasus ketaksaan adalah ketidakcermatan struktur gramatikal seperti yang terjadi pada kalimat berikut :
• Nanang dan Ujang sering kali dimarahi guru karena dia sering terlambat datang.
Kata dia di dalam kalimat tersebut bisa mengacu pada Nanang, bisa juga pada Ujang atau malah bisa juga pada Guru.
Bahasa lisan sering menimbulkan ketaksaan, sebarapa yang kita dengar belum tentu tepat dan benar yang dimaksudkan oleh si pembaca atau penulis. Di dalam tulisan, kita mengenal tanda baca yang memperjelas maknanya. lebih-lebih jika pembicara berbicara dengan cepat, tanpa jeda. Bandingkanlah contoh berikut:
(1) Anak dan istri Pak Lurah yang tinggal di Medan
(2) Anak, istri, dan Pak Lurah yang tinggal di Medan
(3) Anak istri Pak Lurah, yang tinggal di Medan
(4) Anak-istri Pak Lurah yang tinggal di Medan Dst.


A. Ketaksaa Leksikal
Setiap kata dapat bermakna lebih dari satu, dapat mengacu pada benda yang berbeda, sesuai dengan lingkungan pemakaiannya.Misalnya, kata bang mungkin mengacu kepada “abang” atau “bank, tempat menabung”, bentuk seperti itu dikatakan polyvalency yang dapat dilihat dari dua segi, yaitu polisemi dan homonimi.
Segi pertama polisemi (lihat Breal di dalam Ullmann* 1976), misalnya kata haram di dalam bahasa Indonesia bermakna:
(1) Terlarang,tidak halal: haram hukumnya apabila makan daging bangkai.
(2) Suci, tidak boleh dibuat sembarangan: tanah haram atau mesjidilharam di Mekah itu adalah semulia-mulia tempat di atas bumi.
(3) Haram jedah: anak haram jedah. anak haram adalah anak yang lahir di luar nikah atau anak yang tidak sah.
Segi kedua adalah homonim yakni kata-kata yang sama bunyinya. Misalnya, kata bisa (dapat) atau (racun). Atau pukul (jam) ataukah (ketuk), contohnya. (ia berangkat pukul enam; tukang ketuk= tukang pukul). Segi kedua ini tidak akan menimbulkan ketaksaan bila dilihat pemakaiannya di dalam konteks.

B. Ketaksaan Gramatikal
Ketaksaan ini muncul pada tataran morfologi dan sintaksis.Dengan demikian, ketaksaan pada tataran ini dapat dilihat dari dua alternative.
Alternatif pertama ;ketaksaan yang disebabkan oleh peristiwa pembentukan kata secara gramatikal. Misalnya; pada tataran morfologi (proses morfemis) yang mengakibatkan perubahan makna,
Prefiks peN- pemukul bermakna ganda: “orang yang memukul” atau“ alat untuk memukul”; demikian pula: penidur “obat yang menyebabkan tidur” atau “sifat”.
Alternatif kedua ; ketaksaan pada frase yang mirip. Tiap kata membentuk frase sebenarnya jelas, tetapi kombinasinya mengakibatkan maknanya dapat diartikan lebih dari satu pengertian.Misalnya,frase orang tua dapat bermakna ganda “orang yang tua” atau “bapak-ibu”; begitu pula kalimat: “Amir anak Amin sakit” dapat menimbulkan ketaksaan sehingga memiliki alternatif.
(1) Amir,anak Amin, sakit (Amir yang sakit).
(2) Amir, anak, Amin,sakit (tiga orang yang sakit).
(3) Amir! Anak Amin sakit (Anak Amin sakit).

Ketaksaan makna dapat muncul akibat dari antara lain:
1. Sifat kata atau kalimat yang bersifat umum (generik).
Misalnya, kata buku yang memiliki makna ganda; kalimat “Ali anak Amat sakit”belumlah jelas kepada kita siapa yang sakit, tanpa diikuti unsure suprasegmental yang jelas.
2. Kata atau kalimat tidak pernah sama seratus persen. Kata akan jelas maknanya di dalam konteks, meskipun kadang-kadang konteks itu kabur bagi kita.
3. Batas makna yang dihubungkan dengan bahasa dan yang di luar bahasa tidak jelas. Misalnya, sampai di mana batas kata pandai itu?
4. Kurang akrabnya kata yang kita pakai dengan acuannya (referent-nya). Apa yang dimaksud dengan kata demokrasi,politik,dan apa pula maknanya demokrasi terpimpin itu?
Ketaksaan makna ini dapat dihindari dengan memerhatikan penggunaan kata di dalam konteks atau ditentukan pula oleh situasi, sebab ada kata-kata digunakan pada situasi tertentu.


~Sekian~
DAFTAR BACAAN
Chaer, abdul. 2007. Leksikologo dan Leksikografi Indonesia .PT Reneka Cipta:Jakarta.
Djajasudarma, Fatimah.2009.Semantik 1 “ Makna Leksikal dan Gramatikal”. PT Refika Aditama: Bandung

Kesopanan Imperatif Mahasiswa Sastra Indonesia dalam Rapat” ( Tinjauan Pragmatik)

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Bahasa pada prinsipnya merupakan alat untuk berkomunikasi dan alat untuk menunjukkan identitas masyarakat pemakai bahasa. Masyarakat tutur merupakan masyarakat yang timbul karena rapatnya komunikasi atau integrasi simbolis, dengan tetap menghormati kemampuan komunikatif penuturnya tanpa mengingat jumlah bahasa atau variabel bahasa yang digunakan. Interaksi masyarakat tutur dalam setiap rapat oleh mahasiswa jurusan Sastra Indonesia Universitas Hasanuddin Makassar tetap menjaga kosopanan. Dalam berkomunikasi, norma-norma itu tampak dari perilaku verbal maupun perilaku nonverbalnya. Perilaku verbal dalam fungsi imperatif misalnya, terlihat pada bagaimana penutur mengungkapkan perintah, keharusan, atau larangan melakukan sesuatu kepada mitra tutur. Sedangkan perilaku nonverbal tampak dari gerak gerik fisik yang menyertainya. Norma sosiokultural menghendaki agar manusia bersikap santun dalam berinteraksi dengan sesamanya.
Hal penting yang berkenaan dengan keberhasilan pengaturan interaksi sosial melalui bahasa adalah strategi-strategi yang mempertimbangkan status penutur dan mitra tutur. Keberhasilan penggunaan strategi-strategi ini menciptakan suasana kesopanan yang memungkinkan transaksi sosial berlangsung tanpa mempermalukan penutur dan mitra tutur (Ismari, 1995: 35).
Masyarakat mahasiswa merupakan tipologi masyarakat yang unik. Pada komunitas ini terjadi interaksi minimal dan pemeliharaan maksimal pada bahasa dan kebudayaan. Komunikasi antar sesama mahasiswa tidak dibatasi, namun tetap menjunjung nilai-nilai kesopanan yang memang seharusnya berlaku. Penggunaan bahasa dengan tingkat kesopanan yang maksimal dapat terlihat jelas saat mahasiswa mengadakan suatu rapat atau pada sebuah forum diskusi. Memang bahwa ranah seperti ini memerlukan suatu metode kesopanan berbahasa karena ranah ini terbilang ranah formal.
Berkaitan dengan hal tersebut, walaupun pada ranah formal seperti di atas mengharuskan seorang penutur menggunakan bahasa resmi dengan tingkat kesopanan yang memadai, namun tetap saja terkadang ada yang sampai lepas kontrol sehingga bahasa yang mereka gunakan tidak layak diutarakan sebab sama sekali tidak mengandung nilai-nilai kesopanan. Salah satu contonya ” mengapa kamu sampai melanggar sesuatu yang sudah menjadi keputusan bersama? ” penggunaan kata (kamu) pada ujaran tersebut termasuk ujaran yang kurang sopan.
Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan hal tersebut terjadi, salah satunya mungkin saja dipengaruhi oleh emosi yang timbul dari penutur bahasa itu sendiri. Yang menarik dari hal ini, yaitu munculnya pertanyaan mengapa sampai nilai-nilai kesopanan berbahasa dikesampingkan oleh seorang mahasiswa?, padahal mereka adalah kaum terpelajar. Walaupun dipengaruhi oleh emosi yang muncul, namun seharusnya mereka mampu mengendalikan diri.
Dari fenomena-fenomena di atas penulis beranggapan bahwa penelitian mengenai kesopanan imperatif di lingkungan mahasiswa jurusan Sastra Indonesia Universitas Hasanuddin Makassar sangat menarik dan perlu untuk dilakukan.
1.2 Judul Penelitian
Adapun yang menjadi judul dalam penelitian ini, yaitu : “Kesopanan Imperatif Mahasiswa Sastra Indonesia dalam Rapat” ( Tinjauan Pragmatik).
1.3 Masalah
1.3.1 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini, yaitu :
1. Bagaimana wujud kesopanan imperatif mahasiswa Sastra Indoensia dalam rapat?
2. Faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadinya kesopanan imperatif mahasiswa Sastra Indoensia dalam rapat ?
3. Bagaimana makna dan stratedi dalam kaitannya dengan kesopanan imperatif itu sendiri ?
1.3.2 Batasan Masalah
Penelitian ini dibatasi pada permasalahan kesopanan imperatif yang meliputi:
1. Wujud pemakaian kesopanan imperatif dalam interaksi saat rapat antarmahasiswa jurusan Sastra Indonesia Universitas Hasanuddin Makassar.
2. Makna dasar pragmatik imperatif yang digunakan dalam interaksi antarmahasiswa jurusan Sastra Indonesia Universitas Hasanuddin Makassar dilihat dari tingkat ilmu dan status kelembagaan.
3. Strategi kesopanan imperatif dalam interaksi antarmahasiswa jurusan Sastra Indonesia Universitas Hasanuddin Makassar dilihat dari tingkat ilmu dan status kelembagaan.
1.4 Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini, yaitu:
1. Mendeskripsikan wujud kesopanan imperatif mahasiswa Sastra Indoensia dalam rapat.
2. Menentukan faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadinya kesopanan imperatif mahasiswa Sastra Indoensia dalam rapat.
3. Menguraikan makna dan stratedi kesopanan imperatif sesuai dengan data yang diperoleh.
1.5 Manfaat Penelitian
Manfaat secara praktis yang diperoleh dari hasil penelitian ini adalah memberikan masukan tentang kesopanan imperatif dalam interaksi saat rapat antarmahasiswa jurusan Sastra Indonesia Universitas Hasanuddin Makassar, sehingga akan menambah khazanah pengetahuan kebahasaan kita dan pastinya akan lebih memperlancar komunikasi antar sesama mahasiswa, terutama saat rapat.
Adapun manfaat teoritis yang diperoleh dari hasil penelitian ini adalah memberikan sumbangan untuk perkembangan teori-teori pragmatik dan juga untuk membantu penelitian-penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan kesopanan berbahasa, khususnya kesopanan imperatif.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Landasan Teori
2.1.1 Pragmatik
Levinson (1983) mendefinisikan pragmatik sebagai studi bahasa yang mempelajari relasi bahasa dengan konteksnya. Konteks yang dimaksud tergramatisasi dan terkodifikasi sehingga tidak dapat dilepaskan dari struktur bahasanya.
Leech (1993: 8), mengemukakan pragmatik adalah bidang linguistik yang mengkaji makna dalam hubungannya dengan situasi-situasi tutur (speech situations). Hal ini berarti bahwa makna dalam pragmatik adalah makna eksternal, makna yang terkait konteks, atau makna yang bersifat triadis (Wijana, 1996: 2-3). Makna-makna yang demikian itu kiranya dapat disebut sebagai maksud (Verhaar, 1992) yaitu maksud penutur. Oleh karena itu, Gunarwan (1994: 83) mendefinisikan pragmatik itu sebagai bidang linguistik yang mengkaji maksud ujaran (Lubis, 1993: 9).
2.1.2 Teori Tindak Tutur
Teori tindak tutur adalah pandangan yang mempertegas bahwa ungkapan suatu bahasa dapat dipahami dengan baik apabila dikaitkan dengan situasi konteks terjadinya ungkapan tersebut.
Searle (1976) mengklasifikasikan tindak tutur dengan berdasarkan pada maksud penutur ketika berbicara ke dalam lima kelompok besar, yaitu:
a. Representatif: Tindak tutur ini mempunyai fungsi memberitahu orang-orang mengenai sesuatu. Tindak tutur ini mencakup mempertahankan, meminta, mengatakan, menyatakan dan melaporkan.
b. Komisif: Tindak tutur ini menyatakan bahwa penutur akan melakukan sesuatu, misalnya janji dan ancaman.
c. Direktif: tindak tutur ini berfungsi untuk membuat petutur melakukan sesuatu, seperti saran, permintaan, dan perintah.
d. Ekspresif: Tindak tutur ini berfungsi untuk mengekspresikan perasaan dan sikap mengenai keadaan hubungan, misalnya permintaan maaf, penyesalan dan ungkapan terima kasih.
e. Deklaratif: tindak tutur ini menggambarkan perubahan dalam suatu keadaan hubungan misalnya ketika kita mengundurkan diri dengan mengatakan ’Saya mengundurkan diri’, memecat seseorang dengan mengatakan ’Anda dipecat’, atau menikahi seseorang dengan mengatakan ’Saya bersedia’.
Dalam teori tindak tutur satu bentuk ujaran dapat mempunyai lebih dari satu fungsi. Kebalikan dari kenyataan tersebut adalah kenyataan di dalam komunikasi yang sebenarnya bahwa satu fungsi dapat dinyatakan, dilayani atau diutarakan dalam berbagai bentuk ujaran. Seperti tampak pada contoh tuturan berikut:
Mahasiswa 1 : Siang ini panas sekali. (Sambil memegang tenggorokan)
Mahasiswa 2 : Tolong disediakan air, supaya rapat bisa berjalan dengan baik.
Konteks tuturan:
Tuturan di atas dilakukan oleh dua orang mahasiswa yang baru saja keluar dari kelas dan segera menghadiri rapat di himpunan.
Ujaran ” Siang ini panas sekali” tersebut berfungsi sebagai permintaan, sama seperti ’ Tolong disediakan air, supaya rapat bisa berjalan dengan baik’.
Dengan adanya berbagai macam cara untuk menyatakan permintaan tersebut dapat disimpulkan dua hal mendasar, yakni adanya (1) tuturan langsung dan (2) tuturan tidak langsung sebagaimana yang telah diungkapkan Fatimah (Fatimah, 1994: 65-70).
Tingkat kelangsungan tuturan itu dapat diukur berdasarkan besar kecilnya jarak tempuh serta kejelasan pragmatiknya. Yang dimaksud dengan jarak tempuh adalah jarak antara titik ilokusi yang berada dalam diri penutur dengan titik tujuan ilokusi yang terdapat dalam diri mitra tutur. Semakin jauh jarak tempuhnya semakin tidak langsunglah tuturan itu. Demikian pula sebaliknya. Sedangkan yang dimaksud dengan kejelasan pragmatik adalah kenyataan bahwa semakin tembus pandang sebuah tuturan akan semakin langsunglah tuturan tersebut. Jika dikaitkan dengan kesopanan, semakin jelas maksud sebuah tuturan akan semakin tidak sopanlah tuturan itu, sebaliknya semakin tidak tembus pandang maksud tuturan akan menjadi semakin sopanlah tuturan itu.

2.1.3 Kesopanan Berbahasa
Fraser dalam Gunarwan (1994) mendefinisikan kesopanan adalah “property associated with neither exceeded any right nor failed to fullfill any obligation”. Dengan kata lain kesopanan adalah properti yang diasosiasikan dengan ujaran dan di dalam hal ini menurut pendapat si pendengar, si penutur tidak melampaui hak-haknya atau tidak mengingkari memenuhi kewajibannya.
Beberapa ulasan Fraser mengenai definisi kesopanan tersebut yaitu pertama, kesopanan itu adalah properti atau bagian dari ujaran; jadi bukan ujaran itu sendiri. Kedua, pendapat pendengarlah yang menentukan apakah kesopanan itu ada pada suatu ujaran. Mungkin saja sebuah ujaran dimaksudkan sebagai ujaran yang sopan oleh si penutur, tetapi di telinga si pendengar ujaran itu ternyata tidak terdengar sopan, dan demikian pula sebaliknya. Ketiga, kesopanan itu dikaitkan dengan hak dan kewajiban penyerta interaksi. Artinya, apakah sebuah ujaran terdengar sopan atau tidak, ini ”diukur” berdasarkan (1) apakah si penutur tidak melampaui haknya kepada lawan bicaranya dan (2) apakah di penutur memenuhi kewajibannya kepada lawan bicaranya itu.
Hildred Geertz dalam Franz Magnis-Suseno (2001: 38) menyatakan bahwa ada dua kaidah yang paling menentukan pola pergaulan dalam masyarakat Jawa. Dua kaidah ini sangat erat hubungannya dengan kesopanan berbahasa. Kaidah pertama, bahwa dalam setiap situasi manusia hendaknya bersikap sedemikian rupa hingga tidak sampai menimbulkan konflik. Franz menyebut kaidah ini sebagai prinsip kerukunan. Kaidah kedua, menuntut agar manusia dalam cara bicara dan membawa diri selalu menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain, sesuai dengan derajat dan kedudukannya. Franz menyebut kaidah kedua ini sebagai prinsip hormat.
Menurut Mulder (1973), keadaan rukun terdapat dimana semua pihak berada dalam keadaan damai satu sama lain, suka bekerja sama, saling menerima, dalam suasana tenang dan sepakat. Pendapat Mulder ini diperkuat oleh pernyataan Hildred Geertz (1967) bahwa berlaku rukun berarti menghilangkan tanda-tanda ketegangan dalam masyarakat atau antara pribadi-pribadi sebagai hubungan-hubungan sosial tetap kelihatan selaras dan baik-baik. Dalam kaitannya dengan prinsip hormat, Hildred Geertz menjelaskan ada tiga perasaan yang harus dimiliki masyarakat Jawa dalam berkomunikasi dengan tujuan untuk menciptakan situasi-situasi yang menuntut sikap hormat, yaitu wedi (takut), isin (malu), dan sungkan. Ketiga hal tersebut merupakan suatu kesinambungan perasaan-perasaan yang mempunyai fungsi sosial untuk memberi dukungan psikologis terhadap tuntutan-tuntutan prinsip hormat. Dengan demikian individu merasa terdorong untuk selalu mengambil sikap hormat, sedangkan kelakuan yang kurang hormat menimbulkan rasa tak enak (Franz, 2001: 65).
Dalam masyarakat mahasiswa prinsip kerukunan dan prinsip hormat ini tidak terlihat begitu jelas. Hanya karena persoalan sepele muncul lagi konflik di lingkungan kampus. Dan tidak sedikit bahwa hal itu terjadi karena komunikasi yang berbenturan. Bahkan tidak jarang mereka saling menghujat satu sama lain, lalu muncullah konflik yang besar. Semua. Dalam komunikasi mereka sering tidak menunjukkan sikap takut, malu, dan segan terhadap mahasiswa yang mempunyai derajat atau kedudukan yang lebih tinggi.
Menurut Leech dan Brown dan Levinson prinsip kerja sama sebagaimana yang dikemukakan Grice dalam komunikasi yang sesungguhnya sering dilanggar atau tidak dipatuhi oleh para peserta tutur. Hal ini disebabkan karena di di dalam komunikasi tujuan kita tidak hanya menyampaikan informasi saja, melainkan juga untuk menjaga atau memelihara hubungan-hubungan sosial antara penutur dan petutur (walaupun ada peristiwa-peristiwa tutur tertentu yang tidak menuntut pemeliharaan hubungan itu). Kebutuhan noninformatif ini termasuk dalam kebutuhan komunikatif yang bersifat semesta.
Jika tujuan kita berkomunikasi hanya untuk menyampaikan informasi saja, maka strategi yang paling baik diambil adalah menjamin kejelasan pragmatik (pragmatic clarity) dan menjamin ketibaan daya ilokusi (illocutionary force) di titik ilokusi (di benak pendengar) paling segera. Akan tetapi pada komunikasi sehari-hari, ujaran-ujaran seperti itu dianggap terlalu berterus terang dan oleh sebagian masyarakat dinilai tidak sopan.
Untuk menentukan parameter kesopanan imperatif (dalam hal ini Leech menyebutnya impositif), Leech (1993) mengemukakan tiga skala kesopanan, yaitu:
1. Cost-benefit scale: Representing the cost or benefit of an act to speaker and hearer. Cost-benefit scale atau skala kerugian dan keuntungan menunjuk kepada besar kecilnya kerugian dan keuntungan yang diakibatkan oleh sebuah tindak tutur pada sebuah pertuturan.
2. Optionality scale: Indicating the degree of choice permitted to speaker and/or hearer by a spesific linguistic act. Optionally scale atau skala pilihan menunjuk kepada banyak atau sedikitnya pilihan (options) yang disampaikan si penutur kepada si mitra tutur di dalam kegiatan bertutur.
3. Indirectness scale: Indicating the amount of inferencing required of the hearer in order to establish the intended speaker meaning. Indirectness scale atau skala ketidaklangsungan menunjuk kepada peringkat langsung atau tidak langsungnya maksud sebuah tuturan.
Teori kesopanan berbahasa menurut Brown dan Levinson berkisar pada nosi muka (face). Semua orang yang rasional memiliki muka (dalam arti kiasan) dan muka itu harus dijaga, dipelihara, dihormati, dan sebagainya. Menurut mereka nosi muka itu dapat dibedakan menjadi muka negatif dan muka positif.
Muka negatif mengacu ke citra diri setiap orang (yang rasional) yang berkeinginan agar dihargai dengan jalan membiarkannya bebas melakukan tindakannya atau membiarkannya bebas dari keharusan mengerjakan sesuatu. Sedangkan muka positif mengacu ke citra diri setiap orang (yang rasional) yang berkeinginan agar apa yang dilakukannya, apa yang dimilikinya atau apa yang merupakan nilai-nilai yang ia yakini (sebagai akibat dari apa yang dilakukan atau dimilikinya itu) diakui orang lain sebagai suatu hal yang baik, yang menyenangkan, yang patut dihargai, dan seterusnya. Kesopanan imperatif berkenaan dengan muka negatif, dimana tuturan ini berfungsi untuk membuat mitra tutur melakukan sesuatu.
Sebuah tindakan ujaran dapat merupakan ancaman terhadap muka. Tindak ujaran seperti itu oleh Brown dan Levinson disebut sebagai Face Threatening Act (FTA). Untuk mengurangi ancaman itulah di dalam berkomunikasi kita perlu menggunakan sopan santun bahasa. Karena ada dua sisi muka yang terancam yaitu muka negatif dan muka positif, maka kesopanan pun dapat dibedakan menjadi dua, yaitu kesopanan negatif (untuk menjaga muka negatif) dan kesopanan positif (untuk menjaga muka positif). Sopan santun dalam penggunaan imperatif pada contoh di bawah ini misalnya, dapat ditafsirkan sebagai usaha untuk menghindari konflik antara penutur dan petutur, yang sebenarnya tidak lagi demikian. Muka penutur pun dapat terancam oleh tindak ujarannya. Sebuah ajakan, misalnya, dapat mengancam muka penutur. Untuk melindungi muka dari ancaman itu, penutur dapat menggunakan tindak ujar tak langsung. Perhatikan kalimat berikut:
Apakah kamu bersediah?
Konteks tuturan pada kalimat itu diucapkan oleh mahasiswa kepada temannya (mitra tutur). Tuturan tersebut dapat ditafsirkan sebagai strategi untuk melindungi muka diri. Kalau ajakan itu ditolak, maka mitra tutur dapat menyelamatkan mukanya dengan balik bertanya:
„Kenapa kamu tidak siap, lalu siapa yang menurut kamu bisa“
Konteks tuturan:
Tuturan tersebut diucapkan mahasiswa kepada salah satu temannya pada saat rapat berlangsung.
Menurut Brown dan Levinson, karena adanya ancaman tindak ujaran itulah penutur perlu memilih strategi untuk mengurangi atau, kalau dapat, menghilangkan ancaman itu. Brown dan Levinson mengidentifikasikan empat strategi dasar dalam kesopanan berbahasa, yaitu strategi 1 kurang sopan, strategi 2 agak sopan, strategi 3 lebih sopan, dan strategi 4 paling sopan. Keempat strategi kesopanan ini harus dikaitkan dengan parameter pragmatik (Wijana, 1996: 64-65).
Dalam model kesopanan Brown and Levinson (1987) terdapat tiga parameter atau skala penentu tinggi rendahnya peringkat kesopanan sebuah tuturan. Ketiga skala tersebut ditentukan secara kontekstual, sosial, dan kultural yang selengkapnya mencakup skala-skala berikut:
1. Skala peringkat jarak sosial antara penutur dan mitra tutur (social distance between speaker and hearer) banyak ditentukan oleh parameter perbedaan umur, kenis kelamin, dan latar belakang sosiokultural.
2. Skala peringkat status sosial antara penutur dan mitra tutur (the speaker and hearer relative power) atau seringkali disebut dengan peringkat kekuasaan (power rating) didasarkan pada kedudukan asimetrik antara penutur dan mitra tutur.
3. Skala peringkat tindak tutur atau sering pula disebut dengan rank rating atau lengkapnya adalah the degree of imposition associated with the required expenditure of goods or services didasarkan atas kedudukan relatif tindak tutur yang satu dengan tindak tutur lainnya.
Baik kesopanan yang mendasarkan pada maksim percakapan maupun pandangan kesopanan yang mendasarkan pada konsep penyelamatan muka, keduanya dapat dikatakan memiliki kesejajaran. Kesejajaran itu tampak dalam hal penentuan tindakan yang sifatnya tidak santun atau tindakan yang mengancam muka dan tindakan sopan atau tindakan yang tidak mengancam muka.
2.1.4 Imperatif
Beberapa ahli tata bahasa menggunakan istilah lain yang pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan istilah kalimat imperatif, diantaranya Alisjahbana dan Gorys Keraf yang menggunakan istilah kalimat perintah.
Alisjahbana (1978) mengartikan kalimat perintah sebagai ucapan yang isinya memerintah, memaksa, menyuruh, mengajak, meminta, agar orang yang diperintah itu melakukan apa yang dimaksudkan di dalam perintah. Berdasarkan maknanya, yang dimaksud dengan memerintah adalah memberitahukan kepada mitra tutur bahwa si penutur menghendaki orang yang diajak bertutur itu melakukan apa yang diberitahukannya.
Gorys Keraf (1991) banyak menjelaskan kalimat perintah bahasa Indonesia dalam karya ketatabahasaannya. Ia mendefinisikan kalimat perintah sebagai kalimat yang mengandung perintah atau permintaan agar orang lain melakukan sesuatu seperti yang diinginkan orang yang memerintah itu.
Dalam komunikasi sehari-hari, tuturan bermakna imperatif bisa diwujudkan dengan tuturan deklaratif maupun tuturan interogatif. Untuk lebih jelasnya bisa dilihat pada contoh berikut:
(a) ’Tutup pintunya!’
(b) ’Pintu yang terbuka membuat kita tidak fokus’
(c) ’Kamu mau kegiatan kita tidak maksimal ?’
Konteks tuturan:
Tuturan tersebut diucapkan pemimpin rapat kepada salah satu peserta rapat.
Ketiga tuturan di atas mempunyai makna imperatif meskipun ada tuturan yang berwujud deklaratif (tuturan b) dan berwujud interogatif (tuturan c). Ketiga tuturan tersebut memiliki makna imperatif yang sama yaitu menyuruh mitra tuturnya untuk menutup pintu ruangan.
Kashiwazaki dalam Roni (2005: 80) mengungkapkan makna dasar ungkapan yang menuntut tingkah laku mitra tutur menjadi tiga, yaitu:
a. Makna perintah
Pada makna perintah, jika hasil tindakan berfaedah (menguntungkan) bagi 01 maka akan menjadi beban (kerugian) bagi 02, dan jika berfaedah bagi 02 kadang-kadang juga menjadi beban bagi 01. tetapi dalam fungsi ini 02 dituntut harus melakukan suatu tindakan. Dengan kata lain faktor pilihan (option) 02 sangat kecil bahkan tidak ada. Perhatikan contoh berikut:
‘Dibaca baik-baik! Jangan asal ngomong sendiri.’
Konteks tuturan:
Tuturan tersebut diucapkan peminpin rapat pada salah satu peserta rapat yang tidak jelas bicaranya.
b. Makna permintaan
Pada makna permintaan, hasil dan tindakan 02 berfaedah (menguntungkan) bagi 01 (atau mungkin orang ketiga), dan sebaliknya menjadi beban (merugikan) bagi 02. Pilihan manasuka (option) untuk tidak melakukan atau melakukan suatu tindakan bagi 02 adalah “sedikit banyak ada“. Perhatikan contoh berikut:
’Tolong, ambilkan kertas yang ada di depanmu itu!’

Konteks tuturan:
Tuturan di atas diucapkan mahasiswa kepada temannya di dalam himpunan.
c. Makna nasehat (rekomendasi).
Pada makna nasehat, hasil dari tindakan 02 berfaedah bagi 02 sendiri. Bagi 01 kadang-kadang tidak menjadi beban, tetapi kadang-kadang juga menjadi beban. Dalam fungsi ini pilihan manasuka (option) untuk tidak melakukan sesuatu atau melakukan suatu tindakan bagi 02 adalah “ada“.
’Perhatikan waktu supaya jangan dibiasakan terlambat.’
Konteks tuturan:
Tuturan tersebut diucapkan pimpinan rapat kepada peserta rapat yang terlambat.
2.2 Hasil Penelitian Relevan
Penelitian sebelumnya yang berhubungan dengan penelitian ini yaitu:
1. Kunjana Rahardi (Imperatif Dalam Bahasa Indonesia). 2000. Disertasi: Ilmu Sastra Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Penelitian tersebut mengungkapkan kesopanan pemakaian tuturan imperatif bahasa Indonesia dapat mencakup dua macam perwujudan, yakni kesopanan linguistik dan kesopanan pragmatik. Kesopanan linguistik dimarkahi panjang pendek tuturan, urutan tuturan, intonasi tuturan, isyarat-isyarat dan penanda kesopanan. Sedangkan kesopanan pragmatik diwujudkan dalam dua wujud tuturan, yakni tuturan deklaratif bermakna pragmatik imperatif dan tuturan interogatif bermakna pragmatik imperatif.
2. Bea Anggraeni dan Dwi Handayani (Kesopanan Imperatif Dalam Bahasa Jawa Dialek Surabaya: Analisis Pragmatik). 2001. Lembaga Penelitian Universitas Airlangga Surabaya. Penelitian ini membahas kesopanan imperatif seperti halnya yang telah dikemukakan Kunjana Rahardi di atas, namun lebih spesifik mengarah ke ranah sosial Jawa, khususnya Surabaya.
3. Roni (Jenis Makna Dasar Pragmatik Imperatif dalam Imperatif Bahasa Indonesia). 2005. Jurnal: Verba. Dengan mendasarkan tiga fungsi dasar ungkapan yang menuntut tingkah laku mitra tutur dari Kashiwazaki, Roni menentukan makna dasar atau makna pokok dari tujuh belas makna imperatif pragmatik dalam imperatif bahasa Indonesia yang telah dikemukakan oleh Kunjana Rahardi.

2.3 Kerangka Pikir
Dalam sebuah penelitian, kerangka pikir memang sangat dibutuhkan. Hal ini untuk mengetahui pemahaman peneliti mengenai keterkaitan masalah yang akan diteliti. Dalam proposal ini peneliti menggunakan kerangka pikir sesuai dengan rumusan masalah yang dikemukakan pada bab I. Untuk lebih jelasnya kerangka pikir dapat dilihat pada bagan berikut :



Bagan kerangka pikir.
Kesopanan Imperatif

Ujud kesopanan imperatif

Faktor penyebab terjadinya kesopanan imperatif

Makna dan strategi dalam kesopanan imperatif
Kesopanan imperatif :
Cara bertutur mahasiswa dalam mengungkapkan tuturan bermakna imperatif dengan menerapkan prinsip kesopanan sebagai refleksi dari tindak kesopanan berbahasa. Cara bertutur ini dilakukan oleh seorang mahasiswa atau sekelompok mahasiswa dalam menyikapi aturan/norma yang ada di dalam sebuah lembaga kemahasiswaan. Hal ini dilakukan demi terjaganya etika, keramahan hubungan, dan keseimbangan sosial di lingkungan mahasiswa jurusan Sastra Indonesia Universitas Hasanuddin Makassar.



BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis atau Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan alat prosedur dan teknik yang dipilih dalam melaksanakan penelitian (Djajasudarma, 1993: 3). Sebagai upaya mencapai tujuan penelitian, peneliti menggunakan pendekatan kualitatif dengan menerapkan metode deskriptif. Dalam kajiannya, metode deskriptif menjelaskan data atau objek secara natural, objektif, dan faktual (apa adanya) (Arikunto, 1993: 310). Metode deskriptif ini digunakan untuk menggambarkan apa adanya hasil dari pengumpulan data yang telah dilakukan oleh penulis. Metode deskriptif dipilih oleh penulis karena metode ini dapat memberikan gambaran yang secermat mungkin mengenai individu, keadaan bahasa, gejala atau kelompok tertentu.
3.2 Metode Pengumpulan Data
3.2.1 Penelitian Pustaka
Dalam sebuah penelitian, penelitian lapangan menjadi sesuatu yang sangat penting untuk dilakukan. Hal ini dilakukan untuk mengetahui teori-teori yang akan digunakan dalam menganalisis data panelitian. Di samping itu, penelitian pustakan menjadi sangat penting untuk mengetahui penelitian yang relevan dan sudah ada sebelumnya. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode catat. Yaitu dengan mencatat teori yang dianggap penting serta penelitian yang dianggap relevan.
3.2.2 Penelitian Lapangan
Dalam penelitian ini, metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode simak dan metode cakap. Metode simak memiliki teknik dasar yang berwujud teknik sadap (Mahsun, 2005: 90). Teknik sadap disebut sebagai teknik dasar dalam metode simak karena pada hakekatnya penyimakan diwujudkan dengan penyadapan. Dalam arti, peneliti dalam upaya mendapatkan data dilakukan dengan menyadap penggunaan bahasa seorang atau beberapa mahasiswa. Selanjutnya, teknik sadap ini diikuti dengan teknik lanjutan yang berupa teknik simak libat cakap. Dalam teknik simak libat cakap, peneliti melakukan penyadapan itu dengan cara berpartisipasi sambil menyimak, berpartisipasi dalam pembicaraan, dan menyimak pembicaraan. Dalam hal ini, peneliti terlibat langsung dalam rapat. Selanjutnya teknik catat adalah teknik lanjutan yang dilakukan peneliti ketika menerapkan metode simak dengan teknik lanjutan di atas.
Selain itu, peneliti juga menggunakan metode cakap. Metode penyediaan data dengan metode cakap disebabkan cara yang ditempuh dalam pengumpulan data itu adalah berupa percakapan antara peneliti dengan informan (Mahsun, 2005: 90). Metode cakap memiliki teknik dasar berupa teknik pancing, karena percakapan yang diharapkan sebagai pelaksanaan metode tersebut hanya dimungkinkan muncul jika peneliti memberi stimulasi (pancingan) pada informan untuk memunculkan gejala kebahasaan yang diharapkan oleh peneliti. Pancingan atau stimulasi itu berupa bentuk atau makna-makna yang tersusun dalam bentuk daftar pertanyaan.


3.3 Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer, yaitu data yang secara langsung berkaitan atau berkenaan dengan masalah yang diteliti dan secara langsung dari sumber. Sumber tersebut dapat berupa dialog maupun konversasi (percakapan) mahasiswa dalam rapat.
3.4 Populasi dan Sampel
Yang menjadi sampel dalam penelitian ini adalah mahasiswa Sastra Indonesia yang hadir dalam setiap rapat dan aktif berbicara/bertutur.
Sementara yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah seluruh mahasiswa Sastra Indoensia yang hadir dalam setiap rapat baik yang aktif berbicara dalam rapat maupun yang tidak aktif berbicara/bertutur.