Minggu, 19 Desember 2010

Kesopanan Imperatif Mahasiswa Sastra Indonesia dalam Rapat” ( Tinjauan Pragmatik)

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Bahasa pada prinsipnya merupakan alat untuk berkomunikasi dan alat untuk menunjukkan identitas masyarakat pemakai bahasa. Masyarakat tutur merupakan masyarakat yang timbul karena rapatnya komunikasi atau integrasi simbolis, dengan tetap menghormati kemampuan komunikatif penuturnya tanpa mengingat jumlah bahasa atau variabel bahasa yang digunakan. Interaksi masyarakat tutur dalam setiap rapat oleh mahasiswa jurusan Sastra Indonesia Universitas Hasanuddin Makassar tetap menjaga kosopanan. Dalam berkomunikasi, norma-norma itu tampak dari perilaku verbal maupun perilaku nonverbalnya. Perilaku verbal dalam fungsi imperatif misalnya, terlihat pada bagaimana penutur mengungkapkan perintah, keharusan, atau larangan melakukan sesuatu kepada mitra tutur. Sedangkan perilaku nonverbal tampak dari gerak gerik fisik yang menyertainya. Norma sosiokultural menghendaki agar manusia bersikap santun dalam berinteraksi dengan sesamanya.
Hal penting yang berkenaan dengan keberhasilan pengaturan interaksi sosial melalui bahasa adalah strategi-strategi yang mempertimbangkan status penutur dan mitra tutur. Keberhasilan penggunaan strategi-strategi ini menciptakan suasana kesopanan yang memungkinkan transaksi sosial berlangsung tanpa mempermalukan penutur dan mitra tutur (Ismari, 1995: 35).
Masyarakat mahasiswa merupakan tipologi masyarakat yang unik. Pada komunitas ini terjadi interaksi minimal dan pemeliharaan maksimal pada bahasa dan kebudayaan. Komunikasi antar sesama mahasiswa tidak dibatasi, namun tetap menjunjung nilai-nilai kesopanan yang memang seharusnya berlaku. Penggunaan bahasa dengan tingkat kesopanan yang maksimal dapat terlihat jelas saat mahasiswa mengadakan suatu rapat atau pada sebuah forum diskusi. Memang bahwa ranah seperti ini memerlukan suatu metode kesopanan berbahasa karena ranah ini terbilang ranah formal.
Berkaitan dengan hal tersebut, walaupun pada ranah formal seperti di atas mengharuskan seorang penutur menggunakan bahasa resmi dengan tingkat kesopanan yang memadai, namun tetap saja terkadang ada yang sampai lepas kontrol sehingga bahasa yang mereka gunakan tidak layak diutarakan sebab sama sekali tidak mengandung nilai-nilai kesopanan. Salah satu contonya ” mengapa kamu sampai melanggar sesuatu yang sudah menjadi keputusan bersama? ” penggunaan kata (kamu) pada ujaran tersebut termasuk ujaran yang kurang sopan.
Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan hal tersebut terjadi, salah satunya mungkin saja dipengaruhi oleh emosi yang timbul dari penutur bahasa itu sendiri. Yang menarik dari hal ini, yaitu munculnya pertanyaan mengapa sampai nilai-nilai kesopanan berbahasa dikesampingkan oleh seorang mahasiswa?, padahal mereka adalah kaum terpelajar. Walaupun dipengaruhi oleh emosi yang muncul, namun seharusnya mereka mampu mengendalikan diri.
Dari fenomena-fenomena di atas penulis beranggapan bahwa penelitian mengenai kesopanan imperatif di lingkungan mahasiswa jurusan Sastra Indonesia Universitas Hasanuddin Makassar sangat menarik dan perlu untuk dilakukan.
1.2 Judul Penelitian
Adapun yang menjadi judul dalam penelitian ini, yaitu : “Kesopanan Imperatif Mahasiswa Sastra Indonesia dalam Rapat” ( Tinjauan Pragmatik).
1.3 Masalah
1.3.1 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini, yaitu :
1. Bagaimana wujud kesopanan imperatif mahasiswa Sastra Indoensia dalam rapat?
2. Faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadinya kesopanan imperatif mahasiswa Sastra Indoensia dalam rapat ?
3. Bagaimana makna dan stratedi dalam kaitannya dengan kesopanan imperatif itu sendiri ?
1.3.2 Batasan Masalah
Penelitian ini dibatasi pada permasalahan kesopanan imperatif yang meliputi:
1. Wujud pemakaian kesopanan imperatif dalam interaksi saat rapat antarmahasiswa jurusan Sastra Indonesia Universitas Hasanuddin Makassar.
2. Makna dasar pragmatik imperatif yang digunakan dalam interaksi antarmahasiswa jurusan Sastra Indonesia Universitas Hasanuddin Makassar dilihat dari tingkat ilmu dan status kelembagaan.
3. Strategi kesopanan imperatif dalam interaksi antarmahasiswa jurusan Sastra Indonesia Universitas Hasanuddin Makassar dilihat dari tingkat ilmu dan status kelembagaan.
1.4 Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini, yaitu:
1. Mendeskripsikan wujud kesopanan imperatif mahasiswa Sastra Indoensia dalam rapat.
2. Menentukan faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadinya kesopanan imperatif mahasiswa Sastra Indoensia dalam rapat.
3. Menguraikan makna dan stratedi kesopanan imperatif sesuai dengan data yang diperoleh.
1.5 Manfaat Penelitian
Manfaat secara praktis yang diperoleh dari hasil penelitian ini adalah memberikan masukan tentang kesopanan imperatif dalam interaksi saat rapat antarmahasiswa jurusan Sastra Indonesia Universitas Hasanuddin Makassar, sehingga akan menambah khazanah pengetahuan kebahasaan kita dan pastinya akan lebih memperlancar komunikasi antar sesama mahasiswa, terutama saat rapat.
Adapun manfaat teoritis yang diperoleh dari hasil penelitian ini adalah memberikan sumbangan untuk perkembangan teori-teori pragmatik dan juga untuk membantu penelitian-penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan kesopanan berbahasa, khususnya kesopanan imperatif.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Landasan Teori
2.1.1 Pragmatik
Levinson (1983) mendefinisikan pragmatik sebagai studi bahasa yang mempelajari relasi bahasa dengan konteksnya. Konteks yang dimaksud tergramatisasi dan terkodifikasi sehingga tidak dapat dilepaskan dari struktur bahasanya.
Leech (1993: 8), mengemukakan pragmatik adalah bidang linguistik yang mengkaji makna dalam hubungannya dengan situasi-situasi tutur (speech situations). Hal ini berarti bahwa makna dalam pragmatik adalah makna eksternal, makna yang terkait konteks, atau makna yang bersifat triadis (Wijana, 1996: 2-3). Makna-makna yang demikian itu kiranya dapat disebut sebagai maksud (Verhaar, 1992) yaitu maksud penutur. Oleh karena itu, Gunarwan (1994: 83) mendefinisikan pragmatik itu sebagai bidang linguistik yang mengkaji maksud ujaran (Lubis, 1993: 9).
2.1.2 Teori Tindak Tutur
Teori tindak tutur adalah pandangan yang mempertegas bahwa ungkapan suatu bahasa dapat dipahami dengan baik apabila dikaitkan dengan situasi konteks terjadinya ungkapan tersebut.
Searle (1976) mengklasifikasikan tindak tutur dengan berdasarkan pada maksud penutur ketika berbicara ke dalam lima kelompok besar, yaitu:
a. Representatif: Tindak tutur ini mempunyai fungsi memberitahu orang-orang mengenai sesuatu. Tindak tutur ini mencakup mempertahankan, meminta, mengatakan, menyatakan dan melaporkan.
b. Komisif: Tindak tutur ini menyatakan bahwa penutur akan melakukan sesuatu, misalnya janji dan ancaman.
c. Direktif: tindak tutur ini berfungsi untuk membuat petutur melakukan sesuatu, seperti saran, permintaan, dan perintah.
d. Ekspresif: Tindak tutur ini berfungsi untuk mengekspresikan perasaan dan sikap mengenai keadaan hubungan, misalnya permintaan maaf, penyesalan dan ungkapan terima kasih.
e. Deklaratif: tindak tutur ini menggambarkan perubahan dalam suatu keadaan hubungan misalnya ketika kita mengundurkan diri dengan mengatakan ’Saya mengundurkan diri’, memecat seseorang dengan mengatakan ’Anda dipecat’, atau menikahi seseorang dengan mengatakan ’Saya bersedia’.
Dalam teori tindak tutur satu bentuk ujaran dapat mempunyai lebih dari satu fungsi. Kebalikan dari kenyataan tersebut adalah kenyataan di dalam komunikasi yang sebenarnya bahwa satu fungsi dapat dinyatakan, dilayani atau diutarakan dalam berbagai bentuk ujaran. Seperti tampak pada contoh tuturan berikut:
Mahasiswa 1 : Siang ini panas sekali. (Sambil memegang tenggorokan)
Mahasiswa 2 : Tolong disediakan air, supaya rapat bisa berjalan dengan baik.
Konteks tuturan:
Tuturan di atas dilakukan oleh dua orang mahasiswa yang baru saja keluar dari kelas dan segera menghadiri rapat di himpunan.
Ujaran ” Siang ini panas sekali” tersebut berfungsi sebagai permintaan, sama seperti ’ Tolong disediakan air, supaya rapat bisa berjalan dengan baik’.
Dengan adanya berbagai macam cara untuk menyatakan permintaan tersebut dapat disimpulkan dua hal mendasar, yakni adanya (1) tuturan langsung dan (2) tuturan tidak langsung sebagaimana yang telah diungkapkan Fatimah (Fatimah, 1994: 65-70).
Tingkat kelangsungan tuturan itu dapat diukur berdasarkan besar kecilnya jarak tempuh serta kejelasan pragmatiknya. Yang dimaksud dengan jarak tempuh adalah jarak antara titik ilokusi yang berada dalam diri penutur dengan titik tujuan ilokusi yang terdapat dalam diri mitra tutur. Semakin jauh jarak tempuhnya semakin tidak langsunglah tuturan itu. Demikian pula sebaliknya. Sedangkan yang dimaksud dengan kejelasan pragmatik adalah kenyataan bahwa semakin tembus pandang sebuah tuturan akan semakin langsunglah tuturan tersebut. Jika dikaitkan dengan kesopanan, semakin jelas maksud sebuah tuturan akan semakin tidak sopanlah tuturan itu, sebaliknya semakin tidak tembus pandang maksud tuturan akan menjadi semakin sopanlah tuturan itu.

2.1.3 Kesopanan Berbahasa
Fraser dalam Gunarwan (1994) mendefinisikan kesopanan adalah “property associated with neither exceeded any right nor failed to fullfill any obligation”. Dengan kata lain kesopanan adalah properti yang diasosiasikan dengan ujaran dan di dalam hal ini menurut pendapat si pendengar, si penutur tidak melampaui hak-haknya atau tidak mengingkari memenuhi kewajibannya.
Beberapa ulasan Fraser mengenai definisi kesopanan tersebut yaitu pertama, kesopanan itu adalah properti atau bagian dari ujaran; jadi bukan ujaran itu sendiri. Kedua, pendapat pendengarlah yang menentukan apakah kesopanan itu ada pada suatu ujaran. Mungkin saja sebuah ujaran dimaksudkan sebagai ujaran yang sopan oleh si penutur, tetapi di telinga si pendengar ujaran itu ternyata tidak terdengar sopan, dan demikian pula sebaliknya. Ketiga, kesopanan itu dikaitkan dengan hak dan kewajiban penyerta interaksi. Artinya, apakah sebuah ujaran terdengar sopan atau tidak, ini ”diukur” berdasarkan (1) apakah si penutur tidak melampaui haknya kepada lawan bicaranya dan (2) apakah di penutur memenuhi kewajibannya kepada lawan bicaranya itu.
Hildred Geertz dalam Franz Magnis-Suseno (2001: 38) menyatakan bahwa ada dua kaidah yang paling menentukan pola pergaulan dalam masyarakat Jawa. Dua kaidah ini sangat erat hubungannya dengan kesopanan berbahasa. Kaidah pertama, bahwa dalam setiap situasi manusia hendaknya bersikap sedemikian rupa hingga tidak sampai menimbulkan konflik. Franz menyebut kaidah ini sebagai prinsip kerukunan. Kaidah kedua, menuntut agar manusia dalam cara bicara dan membawa diri selalu menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain, sesuai dengan derajat dan kedudukannya. Franz menyebut kaidah kedua ini sebagai prinsip hormat.
Menurut Mulder (1973), keadaan rukun terdapat dimana semua pihak berada dalam keadaan damai satu sama lain, suka bekerja sama, saling menerima, dalam suasana tenang dan sepakat. Pendapat Mulder ini diperkuat oleh pernyataan Hildred Geertz (1967) bahwa berlaku rukun berarti menghilangkan tanda-tanda ketegangan dalam masyarakat atau antara pribadi-pribadi sebagai hubungan-hubungan sosial tetap kelihatan selaras dan baik-baik. Dalam kaitannya dengan prinsip hormat, Hildred Geertz menjelaskan ada tiga perasaan yang harus dimiliki masyarakat Jawa dalam berkomunikasi dengan tujuan untuk menciptakan situasi-situasi yang menuntut sikap hormat, yaitu wedi (takut), isin (malu), dan sungkan. Ketiga hal tersebut merupakan suatu kesinambungan perasaan-perasaan yang mempunyai fungsi sosial untuk memberi dukungan psikologis terhadap tuntutan-tuntutan prinsip hormat. Dengan demikian individu merasa terdorong untuk selalu mengambil sikap hormat, sedangkan kelakuan yang kurang hormat menimbulkan rasa tak enak (Franz, 2001: 65).
Dalam masyarakat mahasiswa prinsip kerukunan dan prinsip hormat ini tidak terlihat begitu jelas. Hanya karena persoalan sepele muncul lagi konflik di lingkungan kampus. Dan tidak sedikit bahwa hal itu terjadi karena komunikasi yang berbenturan. Bahkan tidak jarang mereka saling menghujat satu sama lain, lalu muncullah konflik yang besar. Semua. Dalam komunikasi mereka sering tidak menunjukkan sikap takut, malu, dan segan terhadap mahasiswa yang mempunyai derajat atau kedudukan yang lebih tinggi.
Menurut Leech dan Brown dan Levinson prinsip kerja sama sebagaimana yang dikemukakan Grice dalam komunikasi yang sesungguhnya sering dilanggar atau tidak dipatuhi oleh para peserta tutur. Hal ini disebabkan karena di di dalam komunikasi tujuan kita tidak hanya menyampaikan informasi saja, melainkan juga untuk menjaga atau memelihara hubungan-hubungan sosial antara penutur dan petutur (walaupun ada peristiwa-peristiwa tutur tertentu yang tidak menuntut pemeliharaan hubungan itu). Kebutuhan noninformatif ini termasuk dalam kebutuhan komunikatif yang bersifat semesta.
Jika tujuan kita berkomunikasi hanya untuk menyampaikan informasi saja, maka strategi yang paling baik diambil adalah menjamin kejelasan pragmatik (pragmatic clarity) dan menjamin ketibaan daya ilokusi (illocutionary force) di titik ilokusi (di benak pendengar) paling segera. Akan tetapi pada komunikasi sehari-hari, ujaran-ujaran seperti itu dianggap terlalu berterus terang dan oleh sebagian masyarakat dinilai tidak sopan.
Untuk menentukan parameter kesopanan imperatif (dalam hal ini Leech menyebutnya impositif), Leech (1993) mengemukakan tiga skala kesopanan, yaitu:
1. Cost-benefit scale: Representing the cost or benefit of an act to speaker and hearer. Cost-benefit scale atau skala kerugian dan keuntungan menunjuk kepada besar kecilnya kerugian dan keuntungan yang diakibatkan oleh sebuah tindak tutur pada sebuah pertuturan.
2. Optionality scale: Indicating the degree of choice permitted to speaker and/or hearer by a spesific linguistic act. Optionally scale atau skala pilihan menunjuk kepada banyak atau sedikitnya pilihan (options) yang disampaikan si penutur kepada si mitra tutur di dalam kegiatan bertutur.
3. Indirectness scale: Indicating the amount of inferencing required of the hearer in order to establish the intended speaker meaning. Indirectness scale atau skala ketidaklangsungan menunjuk kepada peringkat langsung atau tidak langsungnya maksud sebuah tuturan.
Teori kesopanan berbahasa menurut Brown dan Levinson berkisar pada nosi muka (face). Semua orang yang rasional memiliki muka (dalam arti kiasan) dan muka itu harus dijaga, dipelihara, dihormati, dan sebagainya. Menurut mereka nosi muka itu dapat dibedakan menjadi muka negatif dan muka positif.
Muka negatif mengacu ke citra diri setiap orang (yang rasional) yang berkeinginan agar dihargai dengan jalan membiarkannya bebas melakukan tindakannya atau membiarkannya bebas dari keharusan mengerjakan sesuatu. Sedangkan muka positif mengacu ke citra diri setiap orang (yang rasional) yang berkeinginan agar apa yang dilakukannya, apa yang dimilikinya atau apa yang merupakan nilai-nilai yang ia yakini (sebagai akibat dari apa yang dilakukan atau dimilikinya itu) diakui orang lain sebagai suatu hal yang baik, yang menyenangkan, yang patut dihargai, dan seterusnya. Kesopanan imperatif berkenaan dengan muka negatif, dimana tuturan ini berfungsi untuk membuat mitra tutur melakukan sesuatu.
Sebuah tindakan ujaran dapat merupakan ancaman terhadap muka. Tindak ujaran seperti itu oleh Brown dan Levinson disebut sebagai Face Threatening Act (FTA). Untuk mengurangi ancaman itulah di dalam berkomunikasi kita perlu menggunakan sopan santun bahasa. Karena ada dua sisi muka yang terancam yaitu muka negatif dan muka positif, maka kesopanan pun dapat dibedakan menjadi dua, yaitu kesopanan negatif (untuk menjaga muka negatif) dan kesopanan positif (untuk menjaga muka positif). Sopan santun dalam penggunaan imperatif pada contoh di bawah ini misalnya, dapat ditafsirkan sebagai usaha untuk menghindari konflik antara penutur dan petutur, yang sebenarnya tidak lagi demikian. Muka penutur pun dapat terancam oleh tindak ujarannya. Sebuah ajakan, misalnya, dapat mengancam muka penutur. Untuk melindungi muka dari ancaman itu, penutur dapat menggunakan tindak ujar tak langsung. Perhatikan kalimat berikut:
Apakah kamu bersediah?
Konteks tuturan pada kalimat itu diucapkan oleh mahasiswa kepada temannya (mitra tutur). Tuturan tersebut dapat ditafsirkan sebagai strategi untuk melindungi muka diri. Kalau ajakan itu ditolak, maka mitra tutur dapat menyelamatkan mukanya dengan balik bertanya:
„Kenapa kamu tidak siap, lalu siapa yang menurut kamu bisa“
Konteks tuturan:
Tuturan tersebut diucapkan mahasiswa kepada salah satu temannya pada saat rapat berlangsung.
Menurut Brown dan Levinson, karena adanya ancaman tindak ujaran itulah penutur perlu memilih strategi untuk mengurangi atau, kalau dapat, menghilangkan ancaman itu. Brown dan Levinson mengidentifikasikan empat strategi dasar dalam kesopanan berbahasa, yaitu strategi 1 kurang sopan, strategi 2 agak sopan, strategi 3 lebih sopan, dan strategi 4 paling sopan. Keempat strategi kesopanan ini harus dikaitkan dengan parameter pragmatik (Wijana, 1996: 64-65).
Dalam model kesopanan Brown and Levinson (1987) terdapat tiga parameter atau skala penentu tinggi rendahnya peringkat kesopanan sebuah tuturan. Ketiga skala tersebut ditentukan secara kontekstual, sosial, dan kultural yang selengkapnya mencakup skala-skala berikut:
1. Skala peringkat jarak sosial antara penutur dan mitra tutur (social distance between speaker and hearer) banyak ditentukan oleh parameter perbedaan umur, kenis kelamin, dan latar belakang sosiokultural.
2. Skala peringkat status sosial antara penutur dan mitra tutur (the speaker and hearer relative power) atau seringkali disebut dengan peringkat kekuasaan (power rating) didasarkan pada kedudukan asimetrik antara penutur dan mitra tutur.
3. Skala peringkat tindak tutur atau sering pula disebut dengan rank rating atau lengkapnya adalah the degree of imposition associated with the required expenditure of goods or services didasarkan atas kedudukan relatif tindak tutur yang satu dengan tindak tutur lainnya.
Baik kesopanan yang mendasarkan pada maksim percakapan maupun pandangan kesopanan yang mendasarkan pada konsep penyelamatan muka, keduanya dapat dikatakan memiliki kesejajaran. Kesejajaran itu tampak dalam hal penentuan tindakan yang sifatnya tidak santun atau tindakan yang mengancam muka dan tindakan sopan atau tindakan yang tidak mengancam muka.
2.1.4 Imperatif
Beberapa ahli tata bahasa menggunakan istilah lain yang pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan istilah kalimat imperatif, diantaranya Alisjahbana dan Gorys Keraf yang menggunakan istilah kalimat perintah.
Alisjahbana (1978) mengartikan kalimat perintah sebagai ucapan yang isinya memerintah, memaksa, menyuruh, mengajak, meminta, agar orang yang diperintah itu melakukan apa yang dimaksudkan di dalam perintah. Berdasarkan maknanya, yang dimaksud dengan memerintah adalah memberitahukan kepada mitra tutur bahwa si penutur menghendaki orang yang diajak bertutur itu melakukan apa yang diberitahukannya.
Gorys Keraf (1991) banyak menjelaskan kalimat perintah bahasa Indonesia dalam karya ketatabahasaannya. Ia mendefinisikan kalimat perintah sebagai kalimat yang mengandung perintah atau permintaan agar orang lain melakukan sesuatu seperti yang diinginkan orang yang memerintah itu.
Dalam komunikasi sehari-hari, tuturan bermakna imperatif bisa diwujudkan dengan tuturan deklaratif maupun tuturan interogatif. Untuk lebih jelasnya bisa dilihat pada contoh berikut:
(a) ’Tutup pintunya!’
(b) ’Pintu yang terbuka membuat kita tidak fokus’
(c) ’Kamu mau kegiatan kita tidak maksimal ?’
Konteks tuturan:
Tuturan tersebut diucapkan pemimpin rapat kepada salah satu peserta rapat.
Ketiga tuturan di atas mempunyai makna imperatif meskipun ada tuturan yang berwujud deklaratif (tuturan b) dan berwujud interogatif (tuturan c). Ketiga tuturan tersebut memiliki makna imperatif yang sama yaitu menyuruh mitra tuturnya untuk menutup pintu ruangan.
Kashiwazaki dalam Roni (2005: 80) mengungkapkan makna dasar ungkapan yang menuntut tingkah laku mitra tutur menjadi tiga, yaitu:
a. Makna perintah
Pada makna perintah, jika hasil tindakan berfaedah (menguntungkan) bagi 01 maka akan menjadi beban (kerugian) bagi 02, dan jika berfaedah bagi 02 kadang-kadang juga menjadi beban bagi 01. tetapi dalam fungsi ini 02 dituntut harus melakukan suatu tindakan. Dengan kata lain faktor pilihan (option) 02 sangat kecil bahkan tidak ada. Perhatikan contoh berikut:
‘Dibaca baik-baik! Jangan asal ngomong sendiri.’
Konteks tuturan:
Tuturan tersebut diucapkan peminpin rapat pada salah satu peserta rapat yang tidak jelas bicaranya.
b. Makna permintaan
Pada makna permintaan, hasil dan tindakan 02 berfaedah (menguntungkan) bagi 01 (atau mungkin orang ketiga), dan sebaliknya menjadi beban (merugikan) bagi 02. Pilihan manasuka (option) untuk tidak melakukan atau melakukan suatu tindakan bagi 02 adalah “sedikit banyak ada“. Perhatikan contoh berikut:
’Tolong, ambilkan kertas yang ada di depanmu itu!’

Konteks tuturan:
Tuturan di atas diucapkan mahasiswa kepada temannya di dalam himpunan.
c. Makna nasehat (rekomendasi).
Pada makna nasehat, hasil dari tindakan 02 berfaedah bagi 02 sendiri. Bagi 01 kadang-kadang tidak menjadi beban, tetapi kadang-kadang juga menjadi beban. Dalam fungsi ini pilihan manasuka (option) untuk tidak melakukan sesuatu atau melakukan suatu tindakan bagi 02 adalah “ada“.
’Perhatikan waktu supaya jangan dibiasakan terlambat.’
Konteks tuturan:
Tuturan tersebut diucapkan pimpinan rapat kepada peserta rapat yang terlambat.
2.2 Hasil Penelitian Relevan
Penelitian sebelumnya yang berhubungan dengan penelitian ini yaitu:
1. Kunjana Rahardi (Imperatif Dalam Bahasa Indonesia). 2000. Disertasi: Ilmu Sastra Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Penelitian tersebut mengungkapkan kesopanan pemakaian tuturan imperatif bahasa Indonesia dapat mencakup dua macam perwujudan, yakni kesopanan linguistik dan kesopanan pragmatik. Kesopanan linguistik dimarkahi panjang pendek tuturan, urutan tuturan, intonasi tuturan, isyarat-isyarat dan penanda kesopanan. Sedangkan kesopanan pragmatik diwujudkan dalam dua wujud tuturan, yakni tuturan deklaratif bermakna pragmatik imperatif dan tuturan interogatif bermakna pragmatik imperatif.
2. Bea Anggraeni dan Dwi Handayani (Kesopanan Imperatif Dalam Bahasa Jawa Dialek Surabaya: Analisis Pragmatik). 2001. Lembaga Penelitian Universitas Airlangga Surabaya. Penelitian ini membahas kesopanan imperatif seperti halnya yang telah dikemukakan Kunjana Rahardi di atas, namun lebih spesifik mengarah ke ranah sosial Jawa, khususnya Surabaya.
3. Roni (Jenis Makna Dasar Pragmatik Imperatif dalam Imperatif Bahasa Indonesia). 2005. Jurnal: Verba. Dengan mendasarkan tiga fungsi dasar ungkapan yang menuntut tingkah laku mitra tutur dari Kashiwazaki, Roni menentukan makna dasar atau makna pokok dari tujuh belas makna imperatif pragmatik dalam imperatif bahasa Indonesia yang telah dikemukakan oleh Kunjana Rahardi.

2.3 Kerangka Pikir
Dalam sebuah penelitian, kerangka pikir memang sangat dibutuhkan. Hal ini untuk mengetahui pemahaman peneliti mengenai keterkaitan masalah yang akan diteliti. Dalam proposal ini peneliti menggunakan kerangka pikir sesuai dengan rumusan masalah yang dikemukakan pada bab I. Untuk lebih jelasnya kerangka pikir dapat dilihat pada bagan berikut :



Bagan kerangka pikir.
Kesopanan Imperatif

Ujud kesopanan imperatif

Faktor penyebab terjadinya kesopanan imperatif

Makna dan strategi dalam kesopanan imperatif
Kesopanan imperatif :
Cara bertutur mahasiswa dalam mengungkapkan tuturan bermakna imperatif dengan menerapkan prinsip kesopanan sebagai refleksi dari tindak kesopanan berbahasa. Cara bertutur ini dilakukan oleh seorang mahasiswa atau sekelompok mahasiswa dalam menyikapi aturan/norma yang ada di dalam sebuah lembaga kemahasiswaan. Hal ini dilakukan demi terjaganya etika, keramahan hubungan, dan keseimbangan sosial di lingkungan mahasiswa jurusan Sastra Indonesia Universitas Hasanuddin Makassar.



BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis atau Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan alat prosedur dan teknik yang dipilih dalam melaksanakan penelitian (Djajasudarma, 1993: 3). Sebagai upaya mencapai tujuan penelitian, peneliti menggunakan pendekatan kualitatif dengan menerapkan metode deskriptif. Dalam kajiannya, metode deskriptif menjelaskan data atau objek secara natural, objektif, dan faktual (apa adanya) (Arikunto, 1993: 310). Metode deskriptif ini digunakan untuk menggambarkan apa adanya hasil dari pengumpulan data yang telah dilakukan oleh penulis. Metode deskriptif dipilih oleh penulis karena metode ini dapat memberikan gambaran yang secermat mungkin mengenai individu, keadaan bahasa, gejala atau kelompok tertentu.
3.2 Metode Pengumpulan Data
3.2.1 Penelitian Pustaka
Dalam sebuah penelitian, penelitian lapangan menjadi sesuatu yang sangat penting untuk dilakukan. Hal ini dilakukan untuk mengetahui teori-teori yang akan digunakan dalam menganalisis data panelitian. Di samping itu, penelitian pustakan menjadi sangat penting untuk mengetahui penelitian yang relevan dan sudah ada sebelumnya. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode catat. Yaitu dengan mencatat teori yang dianggap penting serta penelitian yang dianggap relevan.
3.2.2 Penelitian Lapangan
Dalam penelitian ini, metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode simak dan metode cakap. Metode simak memiliki teknik dasar yang berwujud teknik sadap (Mahsun, 2005: 90). Teknik sadap disebut sebagai teknik dasar dalam metode simak karena pada hakekatnya penyimakan diwujudkan dengan penyadapan. Dalam arti, peneliti dalam upaya mendapatkan data dilakukan dengan menyadap penggunaan bahasa seorang atau beberapa mahasiswa. Selanjutnya, teknik sadap ini diikuti dengan teknik lanjutan yang berupa teknik simak libat cakap. Dalam teknik simak libat cakap, peneliti melakukan penyadapan itu dengan cara berpartisipasi sambil menyimak, berpartisipasi dalam pembicaraan, dan menyimak pembicaraan. Dalam hal ini, peneliti terlibat langsung dalam rapat. Selanjutnya teknik catat adalah teknik lanjutan yang dilakukan peneliti ketika menerapkan metode simak dengan teknik lanjutan di atas.
Selain itu, peneliti juga menggunakan metode cakap. Metode penyediaan data dengan metode cakap disebabkan cara yang ditempuh dalam pengumpulan data itu adalah berupa percakapan antara peneliti dengan informan (Mahsun, 2005: 90). Metode cakap memiliki teknik dasar berupa teknik pancing, karena percakapan yang diharapkan sebagai pelaksanaan metode tersebut hanya dimungkinkan muncul jika peneliti memberi stimulasi (pancingan) pada informan untuk memunculkan gejala kebahasaan yang diharapkan oleh peneliti. Pancingan atau stimulasi itu berupa bentuk atau makna-makna yang tersusun dalam bentuk daftar pertanyaan.


3.3 Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer, yaitu data yang secara langsung berkaitan atau berkenaan dengan masalah yang diteliti dan secara langsung dari sumber. Sumber tersebut dapat berupa dialog maupun konversasi (percakapan) mahasiswa dalam rapat.
3.4 Populasi dan Sampel
Yang menjadi sampel dalam penelitian ini adalah mahasiswa Sastra Indonesia yang hadir dalam setiap rapat dan aktif berbicara/bertutur.
Sementara yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah seluruh mahasiswa Sastra Indoensia yang hadir dalam setiap rapat baik yang aktif berbicara dalam rapat maupun yang tidak aktif berbicara/bertutur.

1 komentar: