Minggu, 19 Desember 2010

KETAKSAAN (AMBIGUITAS)

Ketaksaan (ambiguitas)
Ketaksaan (istilah-lain ambigu,ambigualitas, dan keambiguan ) ditafsirkan sebagai memiliki lebih dari satu makna akan sebuah konstruksi sintaksis. Ketaksaan dapat ditimbulkan dalam berbagai variasi tulisan atau tuturan .sehubungan dengan ketaksaan ini Kompson (1977) yang dikutip oleh Ullman (1976) menyebutkan tiga bentuk utama dari ketaksaan, ketiganya berhubungan dengan fonetik, gramatikal, dan leksikal. Ketaksaan ini muncul bila kita sebagai pendengar atau pembaca sulit untuk menangkap pengertian yang kita ucapkan atau yang kita dengar.
Ketaksaan atau ambiguitas merupakan bagian dari makna bahasa yang terdapat dalam sebuah tuturan atau tulisan. Ketaksaan atau ambiguitas dapat terjadi pada semua tataran bahasa, baik kata, frase, klausa, kalimat, maupun sebuah wacana. Ketaksaan atau ambiguitas sering digunakan oleh para penutur dengan maksud-maksud tertentu, yang kadang-kadang sengaja dia buat untuk menyembunyikan maksud tuturannya yang sebenarnya, ini biasanya untuk menyindir seseorang namun dengan perkataan yang tidak dengan sesungguhnya.
Secara gampang ketaksaan itu dapat diartikan atau ditafsirkan sebagai memiliki lebih dari satu makna akan sebuah kontruksi sintaksis. Umpamanya frasa buku sejarah baru dapat ditafsirkan bermakna :
1. Buku baru mngenai sejarah
2. Buku mengenai sejarah baru.
Contoh lain dalam kalimat “Minggu lalu kami bertemu Paus” dapat diartikan :
1. Minggu lalu kami bertemu dengan pemimpin agama Katolik yang berdomisili di Roma
2. Minggu lalu kami bertemu sejenis ikan besar yang disebut Paus.
Kalau dikatakan bahwa ketaksaan ini bukan masalah leksikal, melainkan masalah sintaktik adalah karena informasi yang ada dalam satuan sintaksis itu tidak lengkap. Adaikata kalimat “Minggu lalu kami bertemu Paus” itu diberi informasi tambahan misalnya menjadi “ Minggu lalu ketika berkunjung ke Roma kami bertemu Paus”, maka ketaksaan itu tidak ada lagi, sebab tambahan “ketika berkunjung ke Roma” menghilangkan ketaksaan tersebut. Kalimat ini menjadi jelas, bahwa kata Paus mengacu pada Pemimpin tertinggi agama Katolik itu. Lalu, kalau diberi tambahan, Misalnya, kalimat itu menjadi “ Minggu lalu ketika berlayar di laut lepas itu kami bertemu Paus”, juga menjadi jelas bahwayang ditemukan adalah sejenis ikan besar yang bernama Paus. Jadi, boleh dikatakan yang disebut ketaksaan leksikal terjadi karena kalimat yang memuat kata itu memuat informasi yang kurang lengkap. Kebetulan juga dalam kasus ini ada dua buah kata Paus dalam bahasa Indonesia yang berhomonim.
Contoh lain, kalimat-kalimat berikut juga memunyai informasi yang tidak lengkap :
1. Hak saya mana?
2. Servisnya memang baik.
3. Saya minta kopinya saja.
4. Dia datang bawa pacar
5. Dilarang mengambil foto di taman.
Penyebab lain dari kemungkinan terjadinya kasus ketaksaan adalah ketidakcermatan struktur gramatikal seperti yang terjadi pada kalimat berikut :
• Nanang dan Ujang sering kali dimarahi guru karena dia sering terlambat datang.
Kata dia di dalam kalimat tersebut bisa mengacu pada Nanang, bisa juga pada Ujang atau malah bisa juga pada Guru.
Bahasa lisan sering menimbulkan ketaksaan, sebarapa yang kita dengar belum tentu tepat dan benar yang dimaksudkan oleh si pembaca atau penulis. Di dalam tulisan, kita mengenal tanda baca yang memperjelas maknanya. lebih-lebih jika pembicara berbicara dengan cepat, tanpa jeda. Bandingkanlah contoh berikut:
(1) Anak dan istri Pak Lurah yang tinggal di Medan
(2) Anak, istri, dan Pak Lurah yang tinggal di Medan
(3) Anak istri Pak Lurah, yang tinggal di Medan
(4) Anak-istri Pak Lurah yang tinggal di Medan Dst.


A. Ketaksaa Leksikal
Setiap kata dapat bermakna lebih dari satu, dapat mengacu pada benda yang berbeda, sesuai dengan lingkungan pemakaiannya.Misalnya, kata bang mungkin mengacu kepada “abang” atau “bank, tempat menabung”, bentuk seperti itu dikatakan polyvalency yang dapat dilihat dari dua segi, yaitu polisemi dan homonimi.
Segi pertama polisemi (lihat Breal di dalam Ullmann* 1976), misalnya kata haram di dalam bahasa Indonesia bermakna:
(1) Terlarang,tidak halal: haram hukumnya apabila makan daging bangkai.
(2) Suci, tidak boleh dibuat sembarangan: tanah haram atau mesjidilharam di Mekah itu adalah semulia-mulia tempat di atas bumi.
(3) Haram jedah: anak haram jedah. anak haram adalah anak yang lahir di luar nikah atau anak yang tidak sah.
Segi kedua adalah homonim yakni kata-kata yang sama bunyinya. Misalnya, kata bisa (dapat) atau (racun). Atau pukul (jam) ataukah (ketuk), contohnya. (ia berangkat pukul enam; tukang ketuk= tukang pukul). Segi kedua ini tidak akan menimbulkan ketaksaan bila dilihat pemakaiannya di dalam konteks.

B. Ketaksaan Gramatikal
Ketaksaan ini muncul pada tataran morfologi dan sintaksis.Dengan demikian, ketaksaan pada tataran ini dapat dilihat dari dua alternative.
Alternatif pertama ;ketaksaan yang disebabkan oleh peristiwa pembentukan kata secara gramatikal. Misalnya; pada tataran morfologi (proses morfemis) yang mengakibatkan perubahan makna,
Prefiks peN- pemukul bermakna ganda: “orang yang memukul” atau“ alat untuk memukul”; demikian pula: penidur “obat yang menyebabkan tidur” atau “sifat”.
Alternatif kedua ; ketaksaan pada frase yang mirip. Tiap kata membentuk frase sebenarnya jelas, tetapi kombinasinya mengakibatkan maknanya dapat diartikan lebih dari satu pengertian.Misalnya,frase orang tua dapat bermakna ganda “orang yang tua” atau “bapak-ibu”; begitu pula kalimat: “Amir anak Amin sakit” dapat menimbulkan ketaksaan sehingga memiliki alternatif.
(1) Amir,anak Amin, sakit (Amir yang sakit).
(2) Amir, anak, Amin,sakit (tiga orang yang sakit).
(3) Amir! Anak Amin sakit (Anak Amin sakit).

Ketaksaan makna dapat muncul akibat dari antara lain:
1. Sifat kata atau kalimat yang bersifat umum (generik).
Misalnya, kata buku yang memiliki makna ganda; kalimat “Ali anak Amat sakit”belumlah jelas kepada kita siapa yang sakit, tanpa diikuti unsure suprasegmental yang jelas.
2. Kata atau kalimat tidak pernah sama seratus persen. Kata akan jelas maknanya di dalam konteks, meskipun kadang-kadang konteks itu kabur bagi kita.
3. Batas makna yang dihubungkan dengan bahasa dan yang di luar bahasa tidak jelas. Misalnya, sampai di mana batas kata pandai itu?
4. Kurang akrabnya kata yang kita pakai dengan acuannya (referent-nya). Apa yang dimaksud dengan kata demokrasi,politik,dan apa pula maknanya demokrasi terpimpin itu?
Ketaksaan makna ini dapat dihindari dengan memerhatikan penggunaan kata di dalam konteks atau ditentukan pula oleh situasi, sebab ada kata-kata digunakan pada situasi tertentu.


~Sekian~
DAFTAR BACAAN
Chaer, abdul. 2007. Leksikologo dan Leksikografi Indonesia .PT Reneka Cipta:Jakarta.
Djajasudarma, Fatimah.2009.Semantik 1 “ Makna Leksikal dan Gramatikal”. PT Refika Aditama: Bandung

2 komentar: